Di Kota Yogyakarta, setiap tanggal 1 Syawal dalam penanggalan Hijriyah, terdapat sebuah festival kebudayaan yang sudah menjadi tradisi sejak dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono 1, yakni Grebeg Syawal. Namun pada pelaksanaannya biasanya dilaksanakan pada hari ke 2 bulan Syawal pukul 08.00 WIB.
Terdapat tiga macam Grebeg setiap tahunnya. Di awali dengan Grebeg Syawal, kemudian Grebeg Mulud saat Maulid Nabi Muhammad SAW dan ditutup oleh Grebeg Besar yang dirayakan saat Idul Adha.
Grebeg sendiri bentujuan sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT dan Hajad Dalem atau sedekah serta kedermawanan Sultan kepada rakyatnya. Kegiatannya berupa perebutan Gunungan yang berisi aneka ragam sayur dan hasil bumi oleh masyarakat luas serta berbagai kesenian dan tari-tarian. Banyak masyarakat yang meyakini jika mereka berhasil mendapatkan isi-isian dari Gunungan tersebut, hal tersebut dapat memberikan berkah kepada mereka.
Grebeg Syawal memiliki tujuh buah Gunungan yang disebar di tiga titik, yaitu Masjid Besar Kauman, Puro Pakualaman dan Kepatihan (Kantor Gubernur Yogyakarta). Gunugan tersebut terdiri dari 3 Gunungan Kakung (laki-laki), 1 Gunungan Putri (perempuan), 1 Gunungan Gepak (pekat), 1 Gunungan Pawuhan (sampah) dan 1 Gunungan Dharat (tanah).
Prosesi awal dari Gunungan sebelum diarak ketiga tempat tersebut adalah pembacaan doa dan upacara pemberangkatan dari Pagelaran Kraton Yogyakarta. Gunugan-gunungan ini dibawa oleh 12 Bregodo (prajurit Kraton) yang diiringi oleh arak-arakan Prajurit Lombok Abang, disusul para Abdi Dalem Kraton dan Gajah Kraton.
Setelah sampai di Kepatihan, Gunungan disambut oleh para pejabat DIY dan kerabat Kraton untuk didoakan bersama sebelum nantinya diperebutkan oleh masyarakat.
Masih dijajaran selatan Gunung Kidul, Pantai Nglambor muncul sebagai salah satu pantai-pantai baru. Terkenal dengan kebisaannya digunakan untuk snorkeling, pantai ini langsung menjadi new hype di kalangan Yogyakartans dan sekitarnya. Memang sebelumnya tidak pernah terlintas untuk bisa bersnorkeling di pantai-pantai bagian selatan Jawa yang mengerikan ini karena karakter ombaknya yang besar dan tinggi, serta berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.
Tapi itu dulu, sebelum ditemukannya Pantai Nglambor.
Kini tak usah jauh-jauh pergi ke Karimunjawa atau Bali, cukup dengan berjalan sekitar 2 jam mengendarai kendaraan pribadi dari pusat Kota Yogya serta membayar sebesar Rp 35.000 - Rp 50.000 kepada operator snorkeling yang ada, kita bisa bertemu ikan warna-warni penghuni laut selatan dan foto-foto ala underwater. Ya walaupun macam ikannya gak sebanyak di Karimunjawa atau Bali sih..
Pantai berbentuk teluk ini diapit dua karang raksaksa penahan ombak yang terlihat seperti kura-kura. Pantai Nglambor mempunyai perairan dangkal dan ombak yang tenang. Jadi bisa digunakan untuk bersnorkeling ria atau sekedar kungkum-kungkum santai menikmati ombak, semacam di Blue Point Beach Bali lah..
Gak enaknya adalah kita gak bisa terlalu bebas berenang ataupun menyelam dan harus berhati-hati dengan karangnya, supaya gak babak belur ketabrak-tabrak karang, plus yang terpenting adalah tidak mengijak-injak karangnya!
Pantai ini terletak diantara Pantai Siung dan Pantai Jogan, ambil jalan menuju ke arah Pantai Siung. Dari tempat parkir kendaraan, untuk menuju ke bibir pantai kita harus mengendarai ojek-ojek motor yang sudah siap mengantar dengan harga Rp 5.000 sekali jalan. Bersiap lah merasakan mini offroad ala Ojek Nglambor, karena jalur yang dilalui berbatu besar serta naik turun. Tapi kalau ingin sehat dan tak mau pantat sakit bisa juga kok dilakukan dengan berjalan kaki.
Adik dan sepupu saya yang mencoba bersnorkeling di Nglambor
2015 merupakan tahun ke 39 perayaan salah satu festifal film terbesar se-Asia, yaitu Hong Kong International Film Festival (HKIFF) yang diadakan pada 23 Maret hingga 6 April 2015. Terdapat dua film Indonesia yang berhasil menembus ke jajaran line up festival ini. Dalam kategori Short Competition terdapat Lembusura karya Wregas Bhanuteja yang baru saja lulus dari Institut Kesenian Jakarta dan di Feature Film terdapat film Look of Silence karya Joshua Oppenheimer.
Sebelum berjalan-jalan ke Hong Kong, film Lembusura terlebih dahulu berkompetisi di Berlinale 2015 dalam program Short Film. Trailer Lembusura dapat di lihat dibawah ini:
Senang sekali rasanya saya bersama dengan Wregas Bhanuteja (Sutradara), Wulang Sunu (Penata Artistik), dan pemain sosok Lembusura yaitu Yohanes Budyambara berkesempatan untuk menghadiri perayaan HKIFF ke 39.
Ini merupakan pengalaman pertama saya mengalami festival film internasional yang berada di luar negeri. Panitia HKIFF menyambut kami berempat dengan sangat baik dan ramah. Euforia festival film ini juga bisa disarasakan di berbagai penjuru kota, karena banner HKIFF terpajang dimana-mana, mulai dari iklan digital di pinggir jalan sampai pada badan-badan bus kota.
Kegiatan pertama kami di Hong Kong adalah menghadiri pemutaran film Lembusura pada tanggal 1 April 2015, bertempat di Agnes B Cinema, Hong Kong Arts Center. Lembusura diputar bersama beberapa film kompetitor dari Amerika, China, Jerman, Perancis dan Inggris yang terdapat dalam satu program Short Competition I. Pemutaran di tengah hari kerja kali ini disebut panitia HKIFF lebih ramai dari biasanya. Respon dari penonton terhadap film Lembusura juga positif. Penonton paham akan jokes jawa yang ada dalam film dan tertawa saat menonton Lembusura. Kemudian terjadi diskusi yang menarik antara kami setelah sesi pemutaran film berakhir. Lucunya ada salah seorang penonton mengetahui tentang girlband Indonesia yang lagunya menjadi background musik salah satu adegan dalam film Lembusura yaitu JKT48, this definitely surprised us hahaha. Juga terdapat seorang fotografer Hong Kong yang sangat tertarik dengan kota latar tempat film Lembusura dibuat, sehingga membuatnya ingin berkunjung ke Yogyakarta untuk hunting foto yang akan digunakannya sebagai tugas akhir perkuliahan.
Hari ketiga di Hong Kong diisi dengan mengikuti kegiatan makan siang bersama para filmmaker dari seluruh dunia yang berkompetisi pada HKIFF kali ini. Saya berada pada satu meja dengan dua kandidat dari Short Film dan dua kandidat dari Feature Film yakni film Blue Hour dari Thailand dan Voice of The Water dari Jepang. Dikesempatan itu saya juga bertemu dengan sutradara senior dari Filipina bernama Kidlat Tahimik, beliau tidak lain adalah guru dari mantan dekan Fakultas Film & TV Institut Kesenian Jakarta, almarhum Gotot Prakosa, sayangnya saya lupa ambil foto bersama Pak Kidlat! Satu lagi yang kocak, beberapa kali saya dikira pemain film oleh para filmmaker yang ada di HKIFF 😂
Hari ke empat kami di Hong Kong, 3 April 2015, adalah acara puncak dari Hong Kong International Film Festival, yaitu Award Gala. Kami bertemu dengan sutradara Iran, Mohsen Makmalbaf yang mempunyai program Focus On dalam HKIFF 2015. Awalnya saya kira acara awarding semacam ini akan diadakan di sebuah hall atau tempat yang memang khusus diadakan untuk perayaan secara tertutup, eh tapi ternyata setelah sampai di tempatnya kami sempat kebingungan dan bertanya-tanya "Eh ini beneran di tengah mall kaya acara ekspo-ekspo di mall Indonesia?". Awalnya kami kira itu bukan venue utamanya, sampai-sampai kami muterin mall dari lantai bawah hingga ke atas lalu ke bawah lagi dan menemukan memang benar adanya bahwa acara penutupan diadakan di tengah-tengah mall. Award Gala disini juga gak kebanyakan basa basi tanpa banyak selingan pertunjukan yang memanjakan mata, "thes thes thes" kalau bahasa jawanya. Diawali dengan pemberian award pada pemenang ditiap kategori kemudian ditutup dengan makan malam bersama di sebuah restoran yang menghidangkan menu-menu oriental.
Lima hari berada di Hong Kong sangat membuka wawasan dan memberikan angin segar dalam kamus saya tentang sinema. Saya melihat beragam bentuk film mulai dari yang bisa bikin tidur sampai yang membuat saya berpikir "kok bisa gitu ya?". Disini saya jadi paham bahwa latar belakang sosial, budaya, motif, interest dan berbagai pengalaman personal lain dari si pembuat film merupakan hal utama yang sangat mempengaruhi bagaimana bentuk dan naratif dalam sebuah film.
Karena transit di Singapura hanya beberapa jam, kami ingin mencari kegiatan yang worth it, supaya waktu kami gak terbuang sia-sia. Untungnya di detik-detik saat hampir landing, saya teringat dengan artikel yang pernah saya baca di internet mengenai Kebun Bunga Matahari di Changi Airport.
Sesampainya di Singapura sambil makan Ayam Hainan yang ena, saya langsung searching dimana keberadaan kebun tersebut. Ternyata, selain Kebun Bunga Matahari, Changi Airport punya banyak macam kebun lainnya, diantaranya adalah Kebun Kaktus dan Kebun Kupu-Kupu!
Seusai makan siang, kami menggunakan kereta penghubung untuk menuju ke Terminal 2. Voila! Bunga Matahari menari-nari di depan saya. Senang sekali! Saya berasa jadi Hamtaro.
Kami berkemah di sebuah pantai di Gunung Kidul, Yogyakarta yang benar-benar tak berpenghuni. Tak ada rumah warung, toilet umum maupun listrik di sekeliling area. Jalan akses ke pantai ini juga cukup menyeramkan karena jalannya masih berbatu, licin dan hanya cukup untuk 1 mobil ini ada sepanjang 3,5 kilometer dari jalan protokol.
Ini lah Pantai Timang. Lebih terkenal dengan pulaunya yang bisa dicapai dengan menaiki gondola seharga Rp 150.000 per orang. Di Pulau Timang terdapat banyak lobster, sehingga pada siang hari kita bisa melihat beberapa nelayan lobster sibuk berkeliling dibibir pulau.
Oh iya, jangan bayangkan pulau ini seperti gili-gili kecil atau pulau kecil yang berpasir halus ya.. Pulau tak berpenghuni ini lebih mirip seperti karang super besar yang berada di tengah laut dengan karang-karang tajam yang mengelilinginya. Ombak dan angin disekitar Pulau Timang pun juga menyeramkan, besar dan berarus seperti bertabrakan. Jadi cara terbaik menikmati pulau ini adalah melihatnya dari jauh sambil minum kopi dan makan indomie atau dengan menaiki gondolanya.
Gondola Pulau Timang ini adalah gondola tradisional yang dibuat oleh nelayan yang tinggal disekitar wilayah tersebut. Mereka membuatnya dengan cara manual menggunakan tali tambang dan katrol. Jadi untuk safetynya sih katanya aman, tapi ya berdoa saja.. Gondola ini sudah ada sejak lama, dibangun sekitar tahun 1997, dibuat dengan tujuan untuk mempermudah para nelayan mencari losbter. Namun saat ini lebih sering digunakan untuk wisatawan. Untuk yang suka menantang adrenalin wajib untuk menaikinya!
Keputusan kami untuk berkemah di pantai ini juga mendadak. Awalnya kami ingin berkemah di Pantai Ngandong, namun saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pantai ini. Sekilas saya jadi teringat dengan pantai yang ada pada film Moonrise Kingdom karya Wes Anderson. Sebenarnya cukup takut juga berkemah disini, tapi pantai yang sangat sepi ini seakan-akan menarik saya.
Pada malam hari terjadi hujan yang sangat besar dengan petir. Tenda kami banjir. Kami tak tahu harus bagaimana karena kami tidak membawa payung, senter ataupun jas hujan, jadi kami tidak bisa keluar dari tenda dan stay di mobil. Jika ingin pergi dari pantai ini pun juga tak mungkin karena kondisi jalannya. Akhirnya kami membungkus semua barang dengan plastik yang ada dan mencoba stay cool di dalam tenda. Ketakutan saya adalah petirnya, karena tenda kami tidak persis berada di bawah pohon yang rindang.
Pagi harinya, cuaca sangat berbeda dengan semalam. Saya terbangun pukul 7 pagi karena terik matahari yang sangat panas membuat tenda jadi engap. Kami belum mandi air bersih semenjak bermain air sore kemarin jadi badan dan rambut terasa lengket.
Uang cash kami berdua hanya ada Rp 250.000, jadi hanya satu orang yang bisa menaiki gondola. Sebenarnya bisa sih dua-duanya naik karena bapak nelayan memberikan diskon 50 ribu, tapi saya takut ada butuh apa-apa dijalan nanti karena ATM yang masih nun jauh disana, jadi diputuskanlah Wregas yang menaiki gondola tersebut. Saya cuma bawa uang cash ngepas karena setau saya harga gondola itu Rp 100.000, tapi ternyata sudah naik tarifnya. Zonk.
Oh iya, saya dan Wregas bikin film hanya dengan bermodal Rp 150.000 dan berdua saja di pantai ini. Judulnya "The Floating Chopin".
Ani held a lavish party at her Madame's house when everyone goes on vacation. She uses all the facilities at home to celebrate anniversary with her new boyfriend.