
Kami berkemah di sebuah pantai di Gunung Kidul, Yogyakarta yang benar-benar tak berpenghuni. Tak ada rumah warung, toilet umum maupun listrik di sekeliling area. Jalan akses ke pantai ini juga cukup menyeramkan karena jalannya masih berbatu, licin dan hanya cukup untuk 1 mobil ini ada sepanjang 3,5 kilometer dari jalan protokol.
Ini lah Pantai Timang. Lebih terkenal dengan pulaunya yang bisa dicapai dengan menaiki gondola seharga Rp 150.000 per orang. Di Pulau Timang terdapat banyak lobster, sehingga pada siang hari kita bisa melihat beberapa nelayan lobster sibuk berkeliling dibibir pulau.
Oh iya, jangan bayangkan pulau ini seperti gili-gili kecil atau pulau kecil yang berpasir halus ya.. Pulau tak berpenghuni ini lebih mirip seperti karang super besar yang berada di tengah laut dengan karang-karang tajam yang mengelilinginya. Ombak dan angin disekitar Pulau Timang pun juga menyeramkan, besar dan berarus seperti bertabrakan. Jadi cara terbaik menikmati pulau ini adalah melihatnya dari jauh sambil minum kopi dan makan indomie atau dengan menaiki gondolanya.
Gondola Pulau Timang ini adalah gondola tradisional yang dibuat oleh nelayan yang tinggal disekitar wilayah tersebut. Mereka membuatnya dengan cara manual menggunakan tali tambang dan katrol. Jadi untuk safetynya sih katanya aman, tapi ya berdoa saja.. Gondola ini sudah ada sejak lama, dibangun sekitar tahun 1997, dibuat dengan tujuan untuk mempermudah para nelayan mencari losbter. Namun saat ini lebih sering digunakan untuk wisatawan. Untuk yang suka menantang adrenalin wajib untuk menaikinya!
Keputusan kami untuk berkemah di pantai ini juga mendadak. Awalnya kami ingin berkemah di Pantai Ngandong, namun saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pantai ini. Sekilas saya jadi teringat dengan pantai yang ada pada film Moonrise Kingdom karya Wes Anderson. Sebenarnya cukup takut juga berkemah disini, tapi pantai yang sangat sepi ini seakan-akan menarik saya.
Pada malam hari terjadi hujan yang sangat besar dengan petir. Tenda kami banjir. Kami tak tahu harus bagaimana karena kami tidak membawa payung, senter ataupun jas hujan, jadi kami tidak bisa keluar dari tenda dan stay di mobil. Jika ingin pergi dari pantai ini pun juga tak mungkin karena kondisi jalannya. Akhirnya kami membungkus semua barang dengan plastik yang ada dan mencoba stay cool di dalam tenda. Ketakutan saya adalah petirnya, karena tenda kami tidak persis berada di bawah pohon yang rindang.
Pagi harinya, cuaca sangat berbeda dengan semalam. Saya terbangun pukul 7 pagi karena terik matahari yang sangat panas membuat tenda jadi engap. Kami belum mandi air bersih semenjak bermain air sore kemarin jadi badan dan rambut terasa lengket.
Uang cash kami berdua hanya ada Rp 250.000, jadi hanya satu orang yang bisa menaiki gondola. Sebenarnya bisa sih dua-duanya naik karena bapak nelayan memberikan diskon 50 ribu, tapi saya takut ada butuh apa-apa dijalan nanti karena ATM yang masih nun jauh disana, jadi diputuskanlah Wregas yang menaiki gondola tersebut. Saya cuma bawa uang cash ngepas karena setau saya harga gondola itu Rp 100.000, tapi ternyata sudah naik tarifnya. Zonk.
Oh iya, saya dan Wregas bikin film hanya dengan bermodal Rp 150.000 dan berdua saja di pantai ini. Judulnya "The Floating Chopin".





