Sebelumnya memang sering makan ramen di Indonesia, tapi saya gak pernah tahu bagaimana rasanya ramen asli itu. Apakah lebih enak di Jepang atau di Indonesia?
Lelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Kyoto, ditambah dengan hawa sejuk dan angin sepoi-sepoi yang masuk ke dalam kamar tatami saya saat jendela dibuka, saya pun tertidur pulas begitu saja. Mengorbankan waktu yang harusnya bisa buat jalan-jalan untuk tidur siang. Tak apa.
Bangun dari tidur saya jadi lapar. Maka sebelum memulai kegiatan bertamasya di hari pertama di Jepang, kami memutuskan untuk makan ramen biar kesannya Jepang banget dan kebetulan warung terdekat dari penginapan saya adalah warung ramen, yang letaknya hanya terpisah jalanan kecil disebelah kiri penginapan. Cocok sekali.
Yang menarik dari warung ramen ini adalah baliho di atas warung yang besarnya hampir sama kaya warungnya. Ditambah dengan gambar bapak-bapak pake ikat kepala merah dengan gaya kaya mau tanding sumo.
Warung-warung di Jepang saya perhatikan tempatnya pada kecil-kecil. Kalau kata Wregas sih karena mereka lebih baik melayani sedikit pelanggan namun memuaskan dari pada bisa melayani banyak pelanggan tapi tidak memuaskan. Contohnya seperti sebuah rumah makan sushi di Jepang yang sudah sangat terkenal *saya lupa namanya* yang tiap harinya hanya melayani 30 pembeli. Jadi kalau mau makan di rumah makan ini harus booking dari jauh-jauh hari.
Warung ramen ini dijalankan oleh dua orang bapak tua, salah satunya adalah bapak yang ada di baliho di atas warung mereka, hahaha. Pelayanan ramennya juga cepat, kami hanya cukup menunggu sekitar 5 menitan dan ramen pun datang.
Saya gak tahu alasan tepatnya kenapa Bahasa Inggris tidak terlalu digunakan di Jepang. Tapi dengar-dengar karena mereka malu kalau mengucapkannya *maap lho kalo salah*, soalnya ada beberapa huruf yang berbeda ketika diucapkan oleh lidah Jepang, seperti L jadi R. Contohnya adalah pemilik penginapan saya yang ketika terlambat menjemput saya di halte bus, dia mengatakan "Sorry, I'm rate". Tapi ada juga yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar jaya dan ada pula yang Bahasa Inggisnya harus langsung to the point aja dalam menyampaikannya, gak usah kebanyakan babibu. Seperti ketika bertanya tentang one day pass kepada petugas di ticket center, saya bertanya dengan bahasa yang komplit, tapi dianya gak ngerti, saya jadi bingung, lalu saya bilang aja "This (sambil menunjuk kertas tiket), all bus and metro?" dan dia menjawab dengan "Haik!", okay case closed wkwwk. Kalau untuk kasus memesan ramen ini kami menggunakan bahasa isyarat karena di menunya pake huruf kanji semua, duh. Untung ada gambarnya dan kami gak salah pesan hahaha.
Di sore hari yang sejuk ini, makan ramen panas jadi enak banget dan memang enak juga sih ramennya. Sebenarnya rasanya hampir mirip seperti di Indonesia.
Kami membeli ramen yang paling murah seharga 650 Yen dengan lauk daging saja. Saya menambahkan minyak wijen dan boncabe ala jepang (yang gak pedes) kedalam mienya. Bom, rasanya jadi alyahud banget!
Saat saya makan disana, ada dua orang mbak-mbak yang semangat banget makan mienya sampe pada keringetan dan minum air banyak bener. Haik!