Liburan Lebaran kali ini tidak terasa spesial. Biasa saja seperti liburan lainnya. Malah tidak ada rasa Lebarannya lagi karena saya hanya merayakan Lebaran dihari pertama dan kedua (padahal tiga tahun lalu seminggu setelah Lebaran saya pasti masih sibuk berkeliling ke sanak saudara dan handai taulan). Selebihnya kosong, hanya melihat keriuhan kota Yogya dipadati oleh pelancong. Batin saya, senang ya mereka bisa jalan-jalan dihari Lebaran bersama keluarga. Ya, keluarga saya semua asli Yogya, jadi tidak ada tradisi mudik. Pernah dulu sekali saat duduk dibangku kelas empat SD, bersama kedua orang tua dan adik saya, kami mudik ke Bandung, tempat adik perempuan nenek. Sudah hanya itu saja pengalaman mudik saya.
Tahun ini Lebaran menjadi sepi karena satu dari dua nenek saya yang tersisa, baru saja meninggal dunia tahun lalu. Jadi sudah tidak ada lagi namanya acara berkunjung ke rumah nenek dari Bapak yang selalu siap dengan menu spesial Lebaran, tape ketan bungkus daun pisang yang dimakan menggunakan emping sabil duduk di sofa klasik bludru coklat tua disana. Melainkan diganti degan adik-adik Bapak yang datang berkunjung ke rumah karena beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara. Saya sedih sejujurnya, sedih karena kebiasaan-kebiasaan yang dulu saya selalu lakukan sejak kecil selama bertahun-tahun, perlahan mulai hilang satu persatu dimakan waktu dan usia. Maka saya berkesimpulan, lebih baik saya halal bi halal saja sama semesta tahun ini, karena manusia-manusia yang dahulu saya sungkemi sudah bersatu dengannya kembali menjadi tanah.
Kebetulan juga di Lebaran ini datanglah kawan saya yang sudah 3 tahun tidak mudik. Seorang wanita Yogya yang sudah 15 tahun tinggal di Jakarta namun tidak kehilangan akarnya dan tetap menjadi Wening si anak blasteran Kotagede x Kauman. Masih bisa medok, masih bisa gojekan ala jowo dan gak ngomong "lo-gue" ketika ada di Yogya bersama saya yang notabene sama-sama tinggal di Jakarta juga.
Sejujurnya kami bertemu diwaktu dan tempat yang tepat. Waktu dimana kami sedang berkutat dengan satu hal yang sama-sama mengganjal dan di tempat yang tepat untuk menenangkan hati itu sendiri yaitu sebuah sungai di daerah Kaliurang atas (kilometer 13) yang oke dan jernih airnya serta murah meriah. Hanya dengan tarif Rp 10.000 / orang, sudah dapat gratis parkir kendaraan dan bebas pilih satu gelas minuman apa pun yang tersedia di warung-warung official Blue Lagoon. Kami memilih Es Goodday supaya hari kami menjadi baik seperti judul minuman itu.
Lalu kami mencari tempat yang agak sunyi, kebetulan cantik juga untuk difoto, jadi saya bisa sambil kasih makan Instagram dan Blog. Tepat dibawah juluran akar gantung pepohonan yang rindang, tumpukan bebatuan alam dan arus sungai yang tenang, dimulailah percakapan kami tentang manusia dan semesta.
Belakangan ini saya dan Wening merasa semesta sedang sering bergurau dengan kami, namun malah menjadi guru paling organik dalam menyampaikan pesan yang seringkali tak masuk diakal manusia dan jarang ditangkap dengan benar oleh manusia itu sendiri karena kadang mereka menampiknya atau ya sekedar gak ngeh saja. Secara personal aku memang suka membaca tanda-tanda yang semesta berikan kepadaku dan selalu percaya akan hal itu (karena sudah sering membuktikannya sendiri), sebenarnya bingung juga apakah kesensitifan hati ini termasuk dalam kategori cenayang atau bukan, karena terkadang kejadian dimasa depan melintas begitu saja dalam hati dan pikiran saya atau menunjukan potongan adegannya dalam mimpi (semacam si Alice adeknya Edward Cullen itu lho). Ini juga bukan tentang teori "cocoklogi" lho ya, tidak sekedar memaksakan untuk mencocok-cocokan, tetapi memang itu pas dengan fakta dan kejadian sebelumnya atau tersadar setelah suatu kejadian yang diwaktu lampau sudah saya prediksikan atau saya "lihat" benar-benar terjadi. Mungkin ada yang pernah dengar ceramah ustad-ustad baik di televisi ataupun masjid yang berkata seperti ini:
"Alam itu akan selalu memberikan pertanda kepada kita, tentang hal yang baik atau pun buruk. Tanpa harus tau dari mana juga datangnya, tiba-tiba langsung saja kita bisa mendapat informasi atau petunjuk itu. Namun kadang kala kita sendiri yang tidak menyadarinya. Buka semua indra untuk menerimanya"
Aneh tapi nyata adanya memang.
Oh ya tambahan satu kutipan yang saya suka dari buku
Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye:
"Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya, sendiri!"
Aneh tapi nyata adanya memang.
Oh ya tambahan satu kutipan yang saya suka dari buku
Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye:
"Jangan diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya, sendiri!"
Berikut tulisan dari Wening Ramadhani Siti Nawangwulan yang dia tulis dikepsyen Instagramnya (@weningrsn). Saya suka karena memang merepresentasikan kami bedua, maka saya taruh sebagai paragraf penutup postingan kali ini.
"Aku menyatukan diriku bersama aliran sungai yang tenang. Sempat menyapa sungai yang kuat arusnya. Keduanya menyenangkan & membahagiakan. Entah kali ini aku benar-benar menikmati setiap alir air dinginnya. Menenangkan sekali. Ditemani teman bercengkrama tentang kehidupan yang lucu tapi juga serius. Menjadikan semesta sebagai pusat kembali. Menyadarkan diri bahwa semesta selalu punya caranya untuk merengkuh kita. Sering kali semesta bercanda seperti halnya kawan sepermainan, tapi juga tak jarang seperti seorang indung kepada anaknya, keras juga penuh kasih. Kepada semesta aku akan berpulang."
![]() |
Wening, sebelum diintipi gondes setempat. |
![]() |
Cilok is the perfect companion! |




