Menuliskan satu judul cerita tidak ada gunanya.
Dalam satu fragmen kota kulihat namamu dipahat di tepi trotoar.
Warnanya merah dengan tinta emas.
Menjual gerigi emas, kopi teh dan gula, kertas—
putih, cokelat, hitam, basah kena air mata.
Seseorang lewat dihadapan, dua tiga manusia mendongak.
Senyum rekah, atau ia tidak bicara apa-apa, melengos pergi saja.
Di tepi pasar berbau kopi dan teh diseduh, beras bijinya berjatuhan,
bau angin dari laut, asin sekaligus gersang.
Namamu menundukkan kepala, berkeriat, bersapa.
Lantas, ditinggalkan bersama kelotok mesin sampan, begitu saja.
Artikel ini sebelumnya muncul di kolom POPPAKULTURA edisi ke 4 pada awal 2020
Penulis: Elistya Handitya
Foto: Ersya Ruswandono