Sebelum menonton The Floating Chopin, saya terlebih dahulu mengenal Wregas melalui dua karyanya, Lemantun (2014) dan Lembusura (2014). Sementara Lemantun terasa seperti Keluarga Cemara, Lembusura lebih mirip Godard mabuk abu vulkanik.
Keduanya bukan hal buruk. Godard mabuk kerap lebih baik daripada Michael Bay sadar. Berlinale juga sepakat, dan Lembusura serta Wregas pun melancong ke Berlin.
Rupa-rupanya, kunjungan Wregas ke Eropa ini menjadi sel telur untuk The Floating Chopin. Wahyunya datang saat Wregas mendengarkan aransemen Chopin Larung di konser yang tidak sengaja didatanginya karena dihibahkan tiket gratis. Katarsis, Wregas pun ngebet membuat tribut untuk lagu ini dan shooting-shooting iseng sembari berlibur bareng Ersya Ruswandono.
The Floating Chopin sendiri adalah film apik dan sederhana, berupa percakapan sejoli muda yang berlibur. Chopin Larung dinyanyikan di pertengahan film, dipadukan dengan imaji Wregas dan Ersya yang berlibur di pantai indah nan sepi, lebih indah dari Prancis dan tidak macam Bali yang 'sudah ramai'.Seandainya Chopin mati di Bali, lantun sang lagu, mungkin bule-bule sekarang akan lebih hormat pada Pulau Dewata.
Gaya tutur dalam film ini senada dengan Lembusura, dari segi humor dan caranya menggarap topik ekososial menjadi sesuatu yang tidak melulu naratif, tetapi selalu komunikatif. Saat Lembusura mengangkat perkara erupsi, The Floating Chopin menyentuh kondisi Bali yang semakin luntur tradisi. Uniknya, kritik tidak hadir lewat omelan yang menghujam, justru lewat dialog jenaka, musik mendayu dan visualdi pantai terpencil yang sangat Instagrammable.
The Floating Chopin berkompetisi di Hong Kong Film Festival sebelum tayang di Film Musik Makan 2016. Sama sekali tidak buruk untuk film yang berawal dari kunjungan ke kuburan dan konser yang kebetulan.