Tahun ini Jogja Asian Film Festival (JAFF) menjadi lebih spesial dari tahun-tahun biasanya karena film yang saya sutradarai akhirnya bisa masuk dan premiere pada salah satu kategori di festival film terbesar di Jogja ini. Tak hanya itu, film saya bersama Wregas Bhanuteja, The Floating Chopin juga berkompetisi dalam kategori film pendek di JAFF edisi tahun ke 11. Ditambah lagi dengan adanya Prenjak yang bertengger dikategori The Faces Of Indonesian Cinema Today. Komplit sudah!
Sebelum saya mulai bercerita, berikut adalah catatan dari programmer tentang kategori-kategori yang terdapat film kami didalamnya:

Konsistensi Pendekatan Film Pendek ke Masyarakat Umum
Sebuah film pada dasarnya diciptakan berdasarkan citra kehidupan di masyarakat yang sedang ataupun telah berlangsung. Selain itu, film juga memiliki fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini sebagai refleksi kehidupan berbudaya dan bermasyarakat dalam aspek hiburan juga pendidikan. Namun sampai saat ini, film pendek belum memiliki ruang yang cukup luas untuk berkontribusi terhadap masyarakat umum.Sekat-sekat ruang pemutaran masih berkutat pada ruang “eksklusif” seperti café, hotel, kampus, dll, yang secara akses sulit untuk dijangkau oleh masyarakat umum. Secara konsisten program Open Air Cinema JAFF mencoba untuk selalu mendekatkan film-film pendek untuk kembali ke masyarakat melalui penayangan.
Tahun ini, program Open Air Cinema akan digelar di 3 titik Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki fungsi tempat berbeda, yakni: Bukit Breksi, Taman Sari, dan Perpustakaan daerah Grahatama. Titik-titik itu dipilih bukan hanya karena strategis, namun juga karena memiliki karakter dan latar belakang penonton yang berbeda-beda, sebuah jaminan bahwa mereka akan memberikan respons yang berbeda-beda untuk film-film yang akan ditayangkan. Semoga ikhtiar mendekatkan film pendek dengan penonton melalui penyesuaian dengan daerah tinggal bisa menambah kontribusinya untuk masyarakat. Selamat berefleksi dari film yang akan ditonton.
Programmer
Mohammad Reza Fahriyansyah

Cahaya Asia
Sejak dinisiasi sebelas tahun yang lalu, program ini selalu berusaha mengambil fokus pada pembuat film yang mencoba memberikan alternatif berpikir yang tercermin dalam pilihan estetika dan isu yang dikelola dalam film-film terpilih. Tidak sedikit dari para pembuat film yang memulai perjalanannya di kategori ini di kemudian hari beranjak menjadi pembuat film panjang yang cukup berpengaruh di Asia dan diakui oleh dunia internasional karena mengenalkan dan membawa sudut pandang Asia dalam karya-karya mereka.
Jauh sebelum itu, sekitar dua puluh tahun yang lalu, dunia internasional barangkali masih kikuk dalam melihat Asia; hal itu tercermin dari terbatasnya nama-nama pembuat film Asia yang dikenal oleh dunia internasional. Para pendahulu ini, disadari ataupun tidak, telah membuat standar dan definisi atas apa yang disebut sinema Asia. Generasi selanjutnya kemudian melihat dengan sudut pandang, gaya, ataupun isu yang sudah telanjur dianggap sebagai ‘Asia’ tersebut. Faktanya, Asia terus berubah, terus berkembang, dan terus berusaha menemukan jati dirinya melalui para pembuat film yang amat berani menarik cerita ke sudut pandang dan sikap yang jauh lebih personal namun sekaligus mencerminkan kondisi kemanusiaan di sekitarnya.
Menjadi alternatif dan sesuatu yang independen adalah untuk terus mengikuti perkembangan zaman dan kondisi kemanusiaan di tempat Anda hidup; tanpa harus kehilangan sikap dan pendekatan personal yang Anda miliki. Sementara logika industri arus utama selalu saja berusaha meneguhkan temuan-temuan estetika ini menjadi aturan-aturan yang bisa diproduksi ulang dalam kerangka industri, pembuat film alternatif seharusnya menghindari keajekan. Mereka harus terus membantah serta melawan cara-cara yang sebelumnya sudah dikooptasi oleh logika industri melalui karya-karya mereka, tanpa harus merasa diri lebih tinggi dan suci.
Tentu saja program kami ini selalu berusaha mencari karya-karya utuh yang layak disebut film pendek, dan bukan film panjang yang berdurasi pendek. Namun, sebagai sebuah festival film kami tentu tidak mampu membatasi dan mengatur para pembuat film ini. Kami ada hanya untuk menangkap dinamika yang terjadi dalam proses kekaryaan yang bermunculan di berbagai negara Asia. Dengan bersetia dalam memilih hanya film-film yang kami rasa mewakili sinema Asia saat ini, kami ingin menggarisbawahi para pembuat film yang membawa perspektif dan sikap personal yang nyata dan mewujudkannya dalam karya. Harapan kami adalah bahwa karya-karya yang jujur dan berani ini akan dengan sendirinya menjadi cerminan yang lebih jelas dari sudut pandang dan persoalan kemanusiaan itu sendiri.
Kami berdoa agar para pembuat film ini menjelma menjadi Cahaya Asia yang memandu jalan para penerusnya agar mampu mengeskplorasi dengan cara yang lebih berani dan bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan pengetahuan. Di mata sinema kita semua sama. Selamat menonton.
Programmer
Ismail Basbeth

Adaptasi dan Restorasi
The Faces of Indonesian Cinema Today berisi film pendek dan panjang Indonesia terkini. Rancangan program ini ditujukan bukan hanya sebagai jembatan antara sinema Indonesia arus utama dan alternatif, melainkan juga antara sinema Indonesia arus utama dan Asia. Platform pemutaran pendek-panjang film Indonesia menjadi koridor yang khas untuk program ini. Sebagai gagasan, kami berusaha untuk membaca fenomena industri film di Indonesia dengan cara menyejajarkan dan mencari resonansi gaya serta keberagaman tema, baik film pendek maupun film panjang Indonesia arus utama. Sebagai laku, platform pendek-panjang sengaja kami pancangkan untuk mempertemukan penonton film pendek dan penonton film panjang Indonesia arus utama dalam rangkaian gagasan pemutaran.
Tahun ini, kami menangkap bahwa fenomena industri film di Indonesia bergerak dalam dua kata kunci: adaptasi dan restorasi. Dalam konteks adaptasi kami menempatkan Cado-cado (Ifa Isfansyah), My Stupid Boss (Upi Avianto), Rudy Habibie (Hanung Bramantyo), Moammar Emka’s Jakarta Undercover (Fajar Nugros), dan Warkop DKI Reborn (Anggi Umbara). Lima film panjang tersebut, bagi kami, punya capaian yang berbeda-beda.
Cado-cado adalah eksplorasi cerita tentang cita-cita paling populer di Indonesia: menjadi dokter. Kendati menjadi cita-cita paling populer, namun profesi dokter jarang mendapatkan eksplorasi ilmiah dan profesionalnya di antara wajah-wajah sinema Indonesia. Untuk eksplorasi profesi yang berbeda, My Stupid Boss dan Rudy Habibie adalah dua film yang perlu kami baca. My Stupid Boss adalah komedi dalam ruang, situasi, dan relasi antara kepala administrasi dengan bosnya yang sangat menyebalkan dan bodoh. Tik-tok adegan dan dialog dalam My Stupid Boss perlu digarisbawahi sebagai sesuatu yang sangat hidup. Sedangkan Rudy Habibie mengeksplorasi proses dan masa muda Bacharuddin Jusuf Habibie sebelum menjadi profesor dan salah seorang yang kemudian penting di dunia politik Indonesia.
Dua film adaptasi lagi kental asosiasinya dengan dinamika kota Jakarta: Moammar Emka’s Jakarta Undercover dan Warkop DKI Reborn. Jika Moammar Emka’s meng-cover Jakarta dari Jakarta yang “undercover”, Warkop DKI Reborn dihadirkan untuk merekam Jakarta hari ini dengan pola komedi yang tengah berkembang: meme.
Film-film tersebut, masing-masing akan dibuka oleh salah satu dari film pendek Indonesia berikut: Ang (Michaela Clarissa Levi), Andro & Jini (Nurullita Marla), Amelis (Dery Prananda), Worked Club (Tunggul Banjaransari), dan Singsot (Wahyu Agung Prasetyo). Ang adalah animasi pendek yang hangat dan berisi. Andro & Jini adalah cerita pendek tentang pelarian diri dua anak dari sesuatu yang tak mereka inginkan. Amelis adalah film pendek alternatif yang sangat efektif dalam menyampaikan kritik atas infrastruktur yang tak memadai. Worked Club adalah narasi acak tentang pembantu rumah tangga yang naik kelas dalam bingkai sinema. Sedangkan Singsot adalah horor komedi yang ditata dengan sangat apik.
Selanjutnya, di aras restorasi, tahun ini Indonesia memiliki Tiga Dara (Usmar Ismail) dalam bentuk restorasi. Restorasi Tiga Dara, bagi kami, hadir kembali dalam wajah baru film Indonesia. Ia menjadi sejarah restorasi film Indonesia lama di tahun ini, sebagaimana film pendek pembukanya nanti, Prenjak (Wregas Bhanuteja) adalah sejarah bagi prestasi film pendek Indonesia di Cannes. Selamat menonton..
Programmer
Suluh Pamuji &Ismail Basbeth


Tahun ini JAFF dimulai pada tanggal 26 November 2016 hingga 3 Desember 2016. Sayangnya kami tidak bisa mengikuti seluruh rangkaian acara karena diawal Desember kami harus berangkat ke Singapura untuk mengikuti Singapore International Film Festival (SGIFF) 2016, karena film Prenjak juga berkompetisi disana.
Desember selalu menjadi penutup tahun yang manis dengan adanya pesat film seperti ini, bisa menonton film-film baru dan yang sedang hitz disepanjang tahun.
Pembukaan JAFF diadakan di Taman Budaya Yogyakarta dengan acara Dance Film Performance garapan Faozan Rizal yang berkolaborasi dengan Tony Broer sebagai penari tunggal dan Yasuhiro Morinaga sebagai sound director, so majestic! Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film Salawaku sebagai film pembuka JAFF #11, tapi kami tidak sempat menonton karena harus menyelesaikan pekerjaan kami yang ada deadline malam itu.
![]() |
Pembukaan festival oleh Budi Irawanto dan Garin Nugroho didepan lukisan Gertjan Zuilhof |
![]() |
Dance film performance |

Pemutaran film kami dimuai di tanggal 29 November, sayangnya film Gilingan dan The Floating Chopin berada dijam dan tanggal yang sama namun berbeda tempat. Gilingan ada di Tebing Breksi Prambanan dan The Floating Chopin ada di Taman Budaya, jauh banget sih ya jarak kedua tempat itu, jadi saya dan Wregas terpaksa bagi tugas, gak bisa bersama-sama menghadiri tiap pemutarannya. Padahal dalam satu kategori pemutaran The Floating Chopin terdapat film The Origin of Fear yang pemainnya juga pemain film Gilingan. Yah, sudahlah.. Ternyata setelah diketahui Mas Basbeth luput kalau The Floating Chopin film saya juga, jadi ya gak sengaja bentrok jadwalnya 😂
Sore hari sebelum premiere film Gilingan, Wregas mengantar saya ke Tebing Breksi, lalu ketika pemutaran hampir dimulai ia langsung bergegas menuju ke Taman Budaya untuk menemani pemutaran The Floating Chopin. Di Tebing Breksi saya ditemani oleh para wanita-wanita yang sudah membantu membuat film Tugas Akhir ini, ada Diday yang membantu sebagai Talent Coordinator, Titak yang sigap dengan Wardrobenya, Siti yang ready dengan Make Up Palletenya, senang sekali rasanya disupport oleh mereka! Hadir juga Mbak Sekar Sari bersama dengan salah satu programmer film dari Belanda. Program Open Air Cinema ini memang ditujukan untuk mendekatkan film kepada masyarakat, jadi biasanya lebih sering dilaksanakan mblusuk-mblusuk ke desa dengan film-film yang kiranya relate dengan mereka, seperti film Lemantun yang juga premiere diprogram Open Air Cinema dua tahun lalu disebuah desa di Godean.



Film Gilingan diputar bersama keempat film lainnya dalam program Light Of Asia 1, namun filmmaker yang datang saat itu hanya saya karena memang yang lain berdomisili di luar Jogja. Vibes pemutaran di Tebing Breksi sangatlah surreal karena menonton film di ruang terbuka dengan dikelilingi alam dan tebing-tebing batu breksi yang beberapa tebingnya sudah diukir membentuk seperti relief-relief candi dan naga, serta udaranya yang dingin-dingin sejuk. Ketika magrib hampir datang, mobil bioskop keliling milik Dinas Pendidikan mulai muncul dan parkir. Lucu banget liat mobil bioskop keliling itu, berasa balik ke jaman dulu. Tahun lalu saya pernah menonton film layar tancep yang memutarnya masih menggunakan seluloid diacaranya Lab Labalaba. Diadakan di halaman gedung Perusahaan Film Negara yang bangunannya sudah gak kerawat itu, tapi malah bikin suasana tambah lawas dengan aksen beberapa pohon pisang dan lumput liar disekitarnya, nah sekarang cuma kurang dua lagi wishlist saya yaitu nonton di bioskop lawas di seberang Pasar Senen dan Drive-In Theater. Duh ada gak ya?
Anyway, saya amazed sama mobil bioskop keliling yang lebih mirip sama kantong Doraemon ini, karena dari dalamnya bisa keluar sebuah layar raksasa untuk memutar film, tiang-tiang besi, proyektor, speaker, genset dan perlengkapan pemutaran lainnya.
Waktu pemutaran film di Tebing Breksi molor satu jam karena layar belum siap. Pupus sudah harapan saya untuk mengejar pemutaran The Floating Chopin, but it's okay. Sekitar jam 8 malaman pemutaran akhirnya dimulai, para warga sekitar dan pengunjung Tebing Breksi dengan antusias menonton film-film yang ada. Saya selalu suka meliat reaksi-reaksi penonton ketika sedang menonton sebuah film, contohnya seperti ada sebuah film horor yang diputar dalam Open Air Cinema ini, sebenernya agak serem juga sih menurut saya kalau muterin film horor di tempat kaya gini, hmm. Tapi para warga sepertinya gak peduli dan tetap berteriak-riak "Awas.. Awas.." ketika si tokoh utama dalam film tidak mengetahui bahwa ada hantu sedang mengintai hahahaha, atau seperti reaksi mereka setelah menonton salah satu film anak-anak yang juga diputar saat itu, ada seorang Ibu yang bilang ke anaknya seperti ini "Nah, kaya gitu kalau sekolah yang rajin..". Tapi yang paling mencuri perhatian dalam pemutaran film di Tebing Breksi ini adalah saat pemutaran film pendek horor dengan judul Sandekala. Yakni pada bagian klimaks film, dimana posisi setan akhirnya berada tepat dibelakang tokoh utama dan musik sangat melengking-lengking, DAR! Tiba-tiba seluruh listrik padam. Duh ada-ada aja nih.. Tapi beberapa menit kemudian listrik kembali menyala lagi kok.. Terbawa suasana mungkin para makhluk-makhluk tak terlihat yang turut serta menonton bersama kami 😂
Untungnya film Gilingan diputar sebelum film Sandekala jadi ya nuansanya belum seram lah haha. Setelah pemutaran terdapat sesi tanya jawab dengan penonton. Banyak warga yang merespon kondisi yang ada dalam film saya. Senang rasanya film saya bisa diapresiasi oleh para warga yang menonton.




Setelah selesai pemutaran saya langsung menghampiri Wregas sudah menunggu di Taman Budaya Yogyakarta. Pemutaran The Floating Chopin berjalan lancar dan menyenangkan, penonton juga meresponnya disesi tanya jawab.
Dihari selanjutnya tanggal 30 November, film Prenjak diputar sebagai film penutup dari film Tiga Dara karya Usmar Ismail di Empire XXI Jogja dan full house! Beberapa teman dan saudara saya sampai tidak kebagian tiketnya. Pemutaran kali ini juga terdapat sesi tanya jawab singkat dengan kami. Yang paling bikin geli adalah sebuah pertanyaan dari seorang mas-mas yang terlihat sangat serius, sampai duduknya aja dibangku paling depan dan melontarkan pertanyaan yang agak sotoy dengan nada sengak seperti ini, "Kenapa sosok Diah dalam film Prenjak ini memakai behel? Sedangkan dia duit untuk hidup aja susah. Kan behel untuk gaya hidup orang berada. Sepertinya kurang relevan ya..". Kemudian dijawablah dengan singkat padat dan jelas oleh Wregas "Behel saat ini bisa punya siapa saja, saya pernah ngekos di daerah kampung Kalipasir Jakarta, yang ekonominya menengah kebawah. Disana anak-anak remaja SMP menggunakan behel yang bisa didapatkan di Kota Tua atau dimana saja dengan harga murah sekitar 100 ribuan". Well, kayanya masnya kurang jalan-jalan nih, di Jolie Jogja aja saya pernah liat behel harganya 1.500 rupiah aja lho, tapi bracketnya dari manik-manik, bisa pasang copot lagi.. Kemudian sesaat setelah menerima jawaban seperti itu dari Wregas tiba-tiba dia cabut dengan wajah kezel. Duh, ku juga kezel maz liat orang kaya u.. 😂




Terimakasih untuk JAFF yang sudah memberikan ruang untuk memutarkan film-film kami dan juga para penonton yang sudah mengapresiasi dengan baik film-film kami, Gilingan, The Floating Chopin dan Prenjak!