
Instagram kini menjadi mesin pencari nomor satu dalam menemukan tempat-tempat indah untuk dijelajahi. Dengan menggunakan hashtag #sumbabarat, saya pun menemukan satu tempat yang menakjubkan ini, Danau Weekuri.
Dalam benak saya, perjalanan ke Danau Weekuri tidaklah rumit, namun pada kenyataannya kami harus melaju dijalanan tanpa aspal, melewati pemukiman penduduk yang masih tradisional, menembus rumput-rumput liar yang bunyinya sampai melengking karena bergesekan dengan mobil. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Bandara Tambolaka akhirnya kami sampai di surga yang tersembunyi ini.
Datang ke Danau Weekuri ini sangatlah effortless karena dari parkiran ke spotnya hanya cukup berjalan sebentar saja dengan jalan yang sudah dikonblok.
Disebelah laguna ini kita dapat menyaksikan laut lepas dan Pantai Weekuri yang hanya bisa dilihat dari tebing karang saja karena memang bukan tipikal pantai yang berpasir.
Karena kami datang disore hari jadi kami tidak dapat berenang disini karena waktu yang kami punya tidak mencukupi untuk mengejar perjalanan selanjutnya ke Sumba Timur (supaya tidak terlalu malam sampai di Waingapu, Sumba Timur). Sayang dan pengen banget padahal, lihat air sebening kaca dengan gradasi warna tosca dan banyak anak-anak lokal yang melompat dari tebing ke danau gitu siapa yang tak tergiur coba!
Tempat ini relatif masih sepi untuk sebuah tempat wisata. Hari ramai-ramainya pengunjung berdatangan adalah ketika weekend, tapi seramai-ramainya pun masih termasuk sepi juga seperti yang ada difoto saya diatas, berbeda dengan Goa Pindul Yogykarta yang kalau hari liburan udah berubah jadi kolam cendol manusia, niatnya mau cave tubingan e tapi malah gak bisa bergerak karena arus airnya kepenuhan ban-ban.
Jadi kalau berencana datang ke Weekuri, sediakanlah waktu yang cukup panjang supaya gak menyesal seperti saya ya..
Karena kami datang disore hari jadi kami tidak dapat berenang disini karena waktu yang kami punya tidak mencukupi untuk mengejar perjalanan selanjutnya ke Sumba Timur (supaya tidak terlalu malam sampai di Waingapu, Sumba Timur). Sayang dan pengen banget padahal, lihat air sebening kaca dengan gradasi warna tosca dan banyak anak-anak lokal yang melompat dari tebing ke danau gitu siapa yang tak tergiur coba!
Tempat ini relatif masih sepi untuk sebuah tempat wisata. Hari ramai-ramainya pengunjung berdatangan adalah ketika weekend, tapi seramai-ramainya pun masih termasuk sepi juga seperti yang ada difoto saya diatas, berbeda dengan Goa Pindul Yogykarta yang kalau hari liburan udah berubah jadi kolam cendol manusia, niatnya mau cave tubingan e tapi malah gak bisa bergerak karena arus airnya kepenuhan ban-ban.
Jadi kalau berencana datang ke Weekuri, sediakanlah waktu yang cukup panjang supaya gak menyesal seperti saya ya..

Pada awalnya saya memang tidak merencanakan untuk singgah di Desa Adat Praiijing, namun sempat tertulis dalam bucket list pada saat merencanakan perjalanan ke Sumba. Tetapi tempat ini akhirnya saya ganti dengan Desa Adat Ratenggaro karena melihat referensi diinternet yang menyatakan bahwa aksesnya lebih mudah dicapai. Namun setelah bertemu dan berdiskusi dengan sopir sekaligus guide kami, Pak Yacub, beliau ternyata lebih merekomendasikan kami untuk pergi ke Praiijing saja dari pada Ratenggaro karena secara lebih dekat dan jalurnya searah menuju ke Sumba Timur. Kalau dalam melakukan perjalanan seperti ini, berganti rute untuk efisiensi sih tak apa bagi saya, toh juga baik Ratenggaro dan Praiijing sama-sama menarik, keduanya belum pernah saya datangi.
Berlokasi 3 kilometer dari pusat kota Waikabubak, jalanan menuju ke Desa Adat Praiijing sudah beraspal baik, sehingga mempermudah dan mempercepat waktu untuk menuju kesana. Namun karena letaknya berada di atas bukit, jalanan ke Praiijing sudah pasti meliuk-liuk dan naik turun, jadi untuk yang suka mabok darat lebih baik sedia obat untuk mengatasinya, daripada melewatkan pemandangan sepanjang perjalanan menuju ke Praiijing, karena kalian akan disuguhi pemandangan dengan hamparan persawahan yang juga terlihat bentang Kota Waikabubak, Sumba Barat dari atas.


Kami sampai di Praiijing disaat matahari hampir tenggelam, sekitar jam 5 sore waktu Indonesia Timur. Setelah memasuki gerbang Praiijing yang terkesan primitif, suasana sepi dan sejuk terasa sejak kami turun dari mobil. Saya dan Wregas disambut oleh seekor anjing yang sedang duduk diatas batu-batuan megalitik, seolah sedang bertugas menjaga keamanan Desa Adat Praiijing. Lolongan anjing-anjing lainnya pun ikut mengiringi langkah kami ketika berjalanan memasuki desa.
Walaupun rumah-rumahnya masih berbentuk Uma Mbatangu atau rumah berpuncak, Desa Adat Praiijing sudah terakses oleh listrik juga lho, sehingga banyak warga yang sore itu sedang bersantai menonton televisi sambil memasak atau pun . Listrik mereka berasal dari panel solar yang terdapat di dekat gapura masuk desa.


Di seberang desa ini, terdapat sebuah bukit kecil yang digunakan sebagai sightseeing Desa Adat Praiijing secara keseluruhan dan juga bisa untuk menikmati sunrise dikala pagi.
Waktu terbaik untuk berkunjung ke Desa Adat Praijing sebenarnya tergantung pada pencapaian estetik yang ingin dinikmati kali ya, kalau ingin agak mistik-mistik dan dingin gitu bisa datang diwaktu sore seperti ketika saya datang, namun jika ingin melihat aktifitas warga dengan cerahnya matahari bisa datang di pagi atau siang. Kesimpulannya adalah Desa Adat Praiijing cocok untuk disinggahi diwaktu kapan pun, baik pagi, siang maupun sore, semuanya indah!





Merekam Sumba kedalam Fuji Disposable Camera yang gak sengaja saya temukan dalam kerumunan alat tulis di Watson ketika berada di Fukuoka, Jepang. Terdapat 4 frame gagal dari total 27 frame yang tersedia dan beberapa frame yang terbuang sia-sia karena gak sengaja kepencet-pencet waktu dia ada di dalam tas. Kamera ini saya beli sekitar 1100 Yen atau setara dengan 165.000 Rupiah.
Fuji Disposable Camera ini memiliki ISO 400, free focus lense dan juga flash yang otomatis menyala ketika dipencet shutter buttonnya. Saya baru ingat kalau membawa kamera ini ke Sumba saat sedang berada di Desa Adat Prailiu, jadi beberapa destinasi terlewatkan untuk dipotret.
Translate This Blog
FOLLOW ME
Labels Cloud
Analog Film
Anthro Journey
Bandung
Beach
Bed Time Story
Cave
Cita Rasa Dunia
College
Cultural Festival
Doodles
East Nusa Tenggara
Ethnosgraphia
Event
Exhibition
Film
Film Festival
Film Journal
Film Tourism
Hong Kong
Indonesia
Jakarta
Japan
Kyoto
Lagoon
Media
Museum
Photo Commission
Photo Exhibition
Photo Journal
Photo Series
Place to Stay
Press
Riau Archipelago
River
Singapore
Slice Of Life
Sumba
Tourist Village
Village
Vlog
Way Of Life
Yogyakarta
POPULAR POST
-
Terletak di Pulau Mursala, sebuah pulau yang diapit oleh Pulau Sumatra dan Pulau Nias, air terjun yang langsung bermuara ke Samudr...
-
Indonesia | 2016 | Color | 12 Minutes Diah took Jarwo to the warehouse at lunchbreak. She said that she needs some quick money. She ...
-
Tugas Dasar Fotografi pertama saya adalah membuat sebuah kamera. Wih canggih banget, baru masuk IKJ udah bisa bikin kamera? Iya, kamer...
Cari Blog Ini
Label
- Analog Film (9)
- Anthro Journey (1)
- Bandung (1)
- Beach (3)
- Bed Time Story (4)
- Cave (2)
- Cita Rasa Dunia (1)
- College (2)
- Cultural Festival (3)
- Doodles (1)
- East Nusa Tenggara (3)
- Ethnosgraphia (5)
- Event (8)
- Exhibition (4)
- Film (11)
- Film Festival (15)
- Film Journal (10)
- Film Tourism (1)
- Hong Kong (1)
- Indonesia (12)
- Jakarta (1)
- Japan (3)
- Kyoto (3)
- Lagoon (1)
- Media (9)
- Museum (2)
- Photo Commission (3)
- Photo Exhibition (1)
- Photo Journal (2)
- Photo Series (16)
- Place to Stay (1)
- Press (3)
- Riau Archipelago (1)
- River (3)
- Singapore (4)
- Slice Of Life (1)
- Sumba (3)
- Tourist Village (1)
- Village (1)
- Vlog (2)
- Way Of Life (1)
- Yogyakarta (12)