Exhibition: Sirap Wadon

Sirap Wadon merupakan pameran penataan gaya oleh fashion stylist, Akib Aryou, yang berkolaborasi dengan sejumlah pelaku seni di Indonesia, yaitu tiga visual creator: Dani Huda, Ersya Ruswandono Gilang Chandra. Serta tiga penari sebagai muse: Sekar Sari, Asmara Abigail dan Mila Rosinta Totoatmojo. Beserta sejumlah desainer yang mendukung di antaranya adalah Felicia Budi (Fbudi), Bramanta Wijaya (Bramanta Wijaya Sposa), Auguste Soesastro (Kraton) dan lain sebagainya.

Sirap Wadon diciptakan dengan tujuan yang mendekonstruksi representasi perempuan dalam mitologi Jawa dan membangun mitologi baru. Kami mengambil inspirasi dari berbagai interpretasi yang dilakukan beberapa penulis. Misalnya, Toeti Heraty dalam Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) yang melihat Calon Arang sebagai seorang korban yang dihinakan oleh masyarakat patriarkal. Terutama terinspirasi oleh karya Goenawan Mohammad, The King's Witch (2000). Goenawan menceritakan kejatuhan Calon Arang dari sudut pandang Calon Arang, berargumen bahwa kejahatan Calon Arang bersumber kepada posisinya yang “hanyalah seorang ibu”. Sirap Wadon berusaha membangun sebuah semesta baru okultisme Jawa yang mereinterpretasi tokoh-tokoh perempuan dengan sudut pandang feminis.

Lewat Sirap Wadon, kami berargumen bahwa perempuan-perempuan dalam mitologi Jawa adalah para pahlawan—tubuh-tubuh, yang dalam kejatuhan mereka, sejatinya memiliki agensi. 'Kejahatan' para perempuan ini semata hanyalah karena mereka melawan patriarki. Oleh karena itu, kami berusaha mengklaim ulang bahwa sihir yang dikandung perempuan adalah kesaktian yang menguatkan perempuan, alih-alih menjadi dosa. Perempuan dalam pameran ini adalah penyihir-penyihir yang dengan teluh dan tenung mereka menolak untuk tunduk kepada penaklukan laki-laki—penyihir, yang dengan tubuh terkutuk tersebut, menciptakan teror bagi laki-laki dan patriarki. Femininitas perempuan adalah sihir perempuan—sirap wadon—yang menjadi kesaktian mereka; dan kini, para perempuan penyirap ini melawan balik.

Tema ini akan kami bagi ke dalam tiga subtema, masing-masing diangkat menjadi karya visual yang independen sekaligus koheren: 

CHAPTER 1: LUMBUNG
Lumbung is a reinterpretation of the story of Rara Jonggrang. The exploration of the story is depicted through nine fragments which visualize female’s anger involving the symbols of Javanese power, based on a study by Benedict Anderson titled The Idea of Power in Javanese Culture.

Lumbung seeks to redefine the actions committed by Rara Jonggrang. Jonggrang who refused to be married to the man who murdered her father decided to radically claim the authority of her own self. In Lumbung, Jonggrang used a mythical ritual to burn the palace’s barn to thwart the building of the temples. Fire, heat, and the color red - the burning of the barn brimming with symbols of Javanese power illustrates that through her rage, Jonggrang managed to reclaim her authority against patriarchy.


CHAPTER 2: GANDRUNG
Gandrung seeks to reinterpret the story of Calon Arang, inspired by the libretto ‘The King’s Witch’ by Goenawan Muhammad. Calon Arang was a leader of the people of Girah against the dictatorship ruling of Airlangga. She was facing dire times of her battle, when the dictator decided to take advantage of the ampu’s power against her, her fragility - the love she had for her daughter Manjali, her gandrung.

The series visualize the last days of Calon Arang before her impending downfall, highlighting her role as a mother - for both her daughter and devotees - which in her silence, protected all her children until the very last moments. Gandrung wishes to reposition Calon Arang to her rightful portrayal, as not a sinner but simply a mother.


CHAPTER 3: JANTUNG
Jantung reinterprets the story of Pambayun, influenced by the Mangir script written by Pramoedya Ananta Toer. In which, Pembayun defied the manipulation against her, done by her father for the sake of killing the rebel Wanabaya, her husband. Pambayun’s dance became her form of contempt against patriarchy and its ways of controlling her innermost private matter - her emotion, her feeling, her heart.

A visualization of a speculative idea, Jantung wonders about what happened to Pambayun after the chapter of Mangir? Jantung becomes a substantial chapter afterward because it offers an alternate narrative for women who wish to fight against patriarchy - that instead of having their lives taken by others or by themselves, women can choose to fight, and survive.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram