
Berkembangnya dunia digital membuat penyebaran dan penerimaan informasi semakin cepat dan meluas. Siapa saja dapat mendapatkan informasi apa saja yang diinginkannya melalui dunia digital hanya dalam hitungan detik saja. Pengaksesnya pun sudah tak terbendung lagi, mulai dari balita hingga lanjut usia semuanya sudah terikat dengan ketergantungan itu. Dunia digital pun saat ini juga sebagai salah satu media yang paling besar dalam mempengaruhi atau menggiring opini manusia karena sebagian hidup manusia saat ini dikelilingi dan dihabiskan dengan gadget dan koneksi internet yang secara langsung mengintegrasikan manusia dengan dunia digital tersebut. Mulai dari Whatsapp, Facebook, Instagram semuanya mengandung konten digital bergambar. Maka penyebaran suatu ideologi saat ini yang salah satunya paling cepat adalah dengan menggunakan media visual melalui media sosial yang memang semakin tak bisa dinafikan perannya dalam kebudayaan. Ia menjadi wadah ekspresi, termasuk bagi seseorang yang ingin 'berbicara' hal yang selama ini dianggap tabu seperti seksualitas.
Literasi Media & Seksualitas Dalam Dunia Digital
Setiap imaji yang dihasilkan mempunyai implikasi tersendiri melalui pengalaman personal, cara pandang, seseorang yang merespon karya tersebut. Seringkali realita kita dikotak-kotakan dan dikonstruksi oleh visual yang tersebar di masyarakat sebagai suatu presentasi yang dianggap sempurna atau normal. Misalnya jika mengacu dengan topik ini, normal itu yang dianggap sebagai seseorang yang heteroseksual. Kita dengan mudahnya memberi label bahwa yang tidak sama itu salah, apalagi dengan bumbu-bumbu agama yang marak saat ini orang berlomba-lomba menjadi yang paling benar dalam berpendapat. Pentingnya literasi media bagi masyarakat adalah kita dapat mengolah dan memilah ribuan visual yang kita konsumsi setiap hari dengan menjadi kritis akan makna visual tersebut. Literasi media ini yang akan membentengi diri kita dari arus deras pencucian otak secara tersirat ini sehingga kita membutuhkan banyak komponen dari ilmu sosial lainnya seperti semiotika, filsafat, psikologi dan lain sebagainya untuk membantu membangun kesadaran dari visual yang kita dapat sehingga tidak mudah untuk diracuni dengan hal-hal yang berbau hoax dan mudah terprovokasi dengan suatu isu.
Dalam tulisan yang bertajuk “Feminist Self-Imaging and Instagram: Tactics of Circumventing Sensorship”, Magdalena Olszanowski (2014) mengungkapkan Instagram dimanfaatkan oleh sejumlah perempuan untuk membuat citra diri dan menemukan orang-orang dengan minat serupa. Sejumlah cara dan saluran digunakan, salah satunya lewat media sosial berbasis visual seperti Instagram. Banyak ilustrator berbicara lewat gambar soal seksualitas. Ketika menemukan orang-orang yang memiliki kesamaan pemikiran, pengguna Instagram akan merasa mendapat penguatan untuk menyuarakan ide-ide yang sulit untuk dikemukakan dalam praktik kehidupan sehari-hari di muka umum. Terlebih saat melihat apresiasi melalui fitur like dan komentar dalam platform media sosial tersebut. Namun, mengunggah karya seni bermuatan seksual di Instagram tak otomatis memerdekakan mereka seratus persen dari normativitas dalam kehidupan nyata.
Seksualitas Dalam Sosial & Budaya
Seksualitas adalah realitas yang dibangun secara sosial dan tidak sama pada setiap orang. Seksualitas diciptakan oleh budaya dengan mendefinisikan beberapa perilaku yang berhubungan dengan seksual serta dipelajari dari skrip yang ada di masyarakat. Seksualitas adalah sebagai identitas seseorang (simbol). Individu belajar dan menginterpretasikan perilaku seksual dengan konteks sosiokultural (diperoleh dari simbol bahasa dan percakapan) Menurut Foucault, seksualitas adalah efek akhir, produk, pengawasan akhir masyarakat, diskusi, klasifikasi dan regulasi jenis kelamin. Seksualitas seseorang pada dasarnya terdiri dari:
- Identitas seksual (seks biologi) berupa gradasi kejantanan dan kebetinaan.
- Perilaku (peran) gender baik sebagaimana ditentukan oleh budaya atau berupa pilihan sendiri atau berupa pilihan sendiri yang bertentangan dengan budaya itu.
- Khusus pada masyarakat modern, ada orientasi (preferensi) seksualitas yang menyimpang ataukah mematuhi budaya. (Sprecher dan Mc Kinney, 1993)
Orientasi seksual dalam kelompok sosial manusia mampu mempunyai cara-cara untuk menentukan berbagai aturan termasuk aktivitas biologis yang menyangkut hubungan kekerabatan dan norma- norma sosial dan budaya yang berlaku dalam kelompok tersebut meliputi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Jadi kegiatan seksual bukan hanya prokreasi (melanggengkan keturunan), tapi dimensi rekreasi 9 (kenikmatan), relasi (hubungan) dan institusi (kelembagaan). Lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan, perilaku, praktek seksual, peran gender, relasi antar manusia, penyesuaian diri dalam tuntutan peran sosialisasi dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia. Jaringan sosial berpengaruh pada kecenderungan melakukan apa yang digariskan oleh lingkungan sosial mereka. Aturan-aturan dalam seksualitas sebagai bentuk ekspresi dalam konstruksi sosial berarti masyarakatlah yang mengorganisir dan mengatur seksualitas dalam berbagai hal dan menjadikan seseorang seksualis karena:
- Kinship / Family System (Sistem Keluarga) merupakan aturan sosial yang mengatur hubungan seks antar saudara dan perkawinan (yang diperbolehkan dan yang dilarang) misalnya hubungan seks antara saudara (incest), perkawinan antar saudara hal yang ditabukan.
- Perubahan ekonomi dan sosial Industrialisasi dan urbanisasi mempengaruhi sikap dan perilaku seksual misalnya keramahtamahan, kekeluargaan di kota besar dibandingkan di pedesaan mempunyai pola yang berbeda karena pengaruh pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang pesat.
- Intervensi Politis Intervensi dalam kehidupan seksual mencerminkan neraca arus sosia dan kekuatan politis. Pada tahun 1960 an kebebasan seksual dan liberalism dan tahun 1980an memunculkan hak-hak yang baru termasuk kemunduran moral dan konservatisme seksual.
- Kultur dan Identitas Perlawanan Suatu sejarah perlawanan dan oposisi ke kode moral yaitu aktifitas perjuangan sosial dan yang tidak dikenakan identitas seksual pada kelompok minoritas misal: subkultural homoseks pada abad pertengahan sehingga membentuk populasi tertentu, berubahnya peraturan pada tahun 1988 tentang batas usia dewasa dari usia 18 tahun menjadi 21 tahun.
Musik Video Sebagai Media Edukasi Seksualitas Secara Tersirat
Pola relasi kaum LGBT yang ditampilkan dalam video klip ini adalah pola relasi kaum LGBT yang telah membuka diri, dalam arti sudah secara terang-terangan menampakkan identitas mereka sebagai seorang LGBT. Sebagian besar kaum LGBT cenderung menutup diri karena mereka takut terhadap penolakan dan lingkungannya. Namun di negara seperti Amerika hal ini bukan merupakan hal yang harus ditutup-tutupi lagi, para kaum LGBT sudah dengan santai dan bangga menunjukan jati dirinya karena negara sudah mengakomodir hak mereka dengan melegalkan hubungan atau pernikahan sesama jenis. Secara tidak langsung pengaruh ini berdampak pada musik video yang diproduksi oleh musisi-musisi Amerika salah satunya The Internet dalam lagunya yang berjudul "Come Over". Dapat kita lihat bahwa sang vokalis, Syd, seorang perempuan yang sedang kasmaran dengan kawan perempuannya. Dalam video klip ini tergambarkan bagaimana cara Syd menarik kawan perempuannya untuk mau diajak kencan bersama. Di scene-scene berikutnya pun ditunjukan bagaimana kegiatan satu persatu dari personil The Internet dalam relasi percintaan dan orientasi seksualnya didalam sebuah kamar tidur yang dibedakan latar warnanya ini menunjukan diversitas seksualitas yang ada dalam lingkungan dan negara mereka:
- Perempuan berpacaran dengan perempuan (Lesbian): Biru
- Lelaki berpacaran dengan lelaki (Gay & Interracial Love): Kuning
- Lelaki berpacaran dengan perempuan (Heteroseksual): Oranye
- Lelaki bergaya seperti perempuan (menggunakan tampilan rambutnya yang gondrong) berpacaran dengan perempuan: Ungu
- Lelaki berpacaran dengan wanita tomboi (potongan rambut botak): Hijau
Penggunaan warna mejikuhibiniu dalam wardrobe dan setting tempat dalam video klip The Internet (Come Over) ini sebagai simbolisasi dari bendera lambang gerakan LGBT yang kita tahu menggunakan warna pelangi. Simbol ini dirancang oleh artis San Francisco Gilbert Baker pada 1978. Dengan varian paling umum terdiri dari enam strip, warna merah, jingga, kuning, hijau, biru dan violet. Bendera tersebut umumnya dikibarkan secara horizontal, dengan strip merah di bagian atas, seperti halnya pelangi alam.
Judul "Cove Over" sendiri pun cukup memberikan banyak informasi dalam merepresentasikan makna dari video klipnya. Pengertian kata come over sendiri dalam bahasa inggris adalah to change from one side (as of a controversy) to the other atau to visit casually, ini dapat dimaknai sebagai perubahan perspektif masyarakat bagaimana mereka memandang LGBT sebagai sesuatu hal yang kontroversial menjadi sesuatu yang sebaliknya, yakni lumrah, karena sebagaimana kita tahu bahwa ketertarikan seksual kepada sesama jenis bukan lah semata-mata dampak dari moderenitas atau bagi kaum ekstrimis kerap mengganggap hal ini sebagai tanda-tanda akhir zaman. Padahal sejak beribu-ribu tahun yang lalu diberbagai kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh dunia, hal ini merupakan fakta keseharian manusia yang terekam dalam artefak, relief dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri yang paling mudah, kita dapat melihatnya juga dalam tarian-tarian Nusantara, bagaimana seseorang lelaki melakukan gerakan atau bergaya layaknya perempuan, begitu sebaliknya.
Masuk ke dalam lirik dari lagu Come Over, pun juga cukup menyentil bagaimana para kaum LGBT mencoba untuk 'say hello' atau sesimpel 'hi there, look at me guys' atau 'just please, come over' sebagai ajakan untuk 'mampir' dan menelisik dahulu ke dalam bagaimana mereka sebenarnya, bukan melihat dari tampilan luar yang penuh dengan label stereotip sebagai manusia, sehingga masayrakat menjadi lebih paham akan pilihan mereka menjadi kaum LGBT, dimana sebenarnya itu adalah hak pribadi mereka sebagai individu yang merdeka.
__________________________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka:
Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Demartoto, Argyo. Mengerti, Memahami dan Menerima Fenomena Homoseksual. Semarang: Universitas Diponegoro
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks & Kekuasaan. Indonesia: Komunitas Bambu
https://tirto.id/ekspresi-seksualitas-lewat-gambar-di-instagram-chEz
http://www.infobudaya.net/2017/09/suku-bugis-5-gender/ h
ttps://id.wikipedia.org/wiki/Bendera_pelangi_(gerakan_LGBT)