Berikut merupakan foto kami selepas penerimaan penghargaan Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia 2016, difoto oleh dr. Tompi, menggunakan kamera film Mamiya dan kini terpajang apik ditengah-tengah koridor Plaza Indonesia.
Enter a futuristic world of high-tech interactive artworks at Future World, created in collaboration with teamLab, a renowned Japanese interdisciplinary art collective. Be immersed in a world of art, science, magic, and metaphor through a collection of cutting-edge digital installations.
Future World is a permanent exhibition. The installations will change
and evolve overtime to keep the exhibition fresh and relevant.
To ensure that all visitors have ample and quality time to interact with each artwork, admission times are as follows: 10:00am, 11:30am, 1:00pm, 2.30pm, 4:00pm, and 5:30pm (last entry). Please note that during peak hours, a queue may be expected at the exhibition entrance.
For a smooth and pleasant visit to the Museum, we recommend that tickets be purchased online prior to your visit. Apart from ArtScience Museum’s Box Office, tickets are also available at the Sands Theatre Box Office (B1, Marina Bay Sands).
Text from Marina Bay Sands

















Hari ini adalah hari yang paling ditunggu, malam nanti acara Awarding Night akan dilangsungkan. Tapi saya sedih juga, Wregas harus pergi hari ini dan tidak hadir bersama kami pada malam penghargaan nanti. Hari ini juga hari terakhir kami berada di Singapore, tapi kami gak sempat jalan-jalan lagi. Dipagi hari kami melakukan photoshoot di Hotel Ibis Bencoleen kemudian dilanjutkan makan siang bersama filmmaker di SGIFF Lounge.
Sebelum saya, Rosa dan Priyo bersiap untuk Awarding Night, saya mengantar Wregas cari taksi dulu di Jembatan Qlarke Quay. Satu taksi, dua taksi, lewat sudah. Tak ada yang berhenti, berhenti pun sudah dipesan ternyata. Wregas memang tidak pesan taksi sebelumnya, karena jika pesan lewat hotel akan kena charge $10, lumayan banget kan itu.. Belum juga tarif taksinya sendiri nanti ke Bandara. Akhirnya karena terlalu lama menunggu saya menyuruh Wregas untuk naik MRT saja, murah dan cepat pastinya, tapi harus repot berjalan dulu dengan bawaan yang cukup banyak itu.
Wregas sudah pergi. Baru saja saya dan Rosa berdandan-dandan (atau kami yang berdandan dengan lamban karena gak bisa dandan) waktu sudah menunjukan pukul 6 sore. Kami kemudian segera bergegas, saya belum sempat catok rabut, oh tidak! Untungnya Priyo sudah memesankan kami taksi, jadi tidak perlu nunggu-nunggu lagi. Sampai di Master Card Theater ternyata kami sudah telat! Para kandidat Film Pendek sudah masuk semua, akhirnya kami bergabung diantrian Film Panjang.
Tapi tenang, sampai didalam belum mulai kok acaranya, kami hanya telat kloter masuk saja. Di dalam louge theater kami akhirnya bertemu dengan sineas-sineas Indonesia yang juga berkompetisi di SGIFF 2016 dan juga ada Mbak Mira Lesmana sebagai Head Jury untuk film pendek, ada Mbak Shanty Harmayn yang hadir dan See Heng yang filmnya "Arnie" satu kompetisi dengan kami di Semaine de la Critique Cannes serta di SGIFF
Pukul 7 kami dipersilakan masuk ke dalam theater. Rosa udah agak ngliyeng katanya karena kebanyakan minum. Kalau saya tetap kelaparan walaupun udah makan kudapan-kudapan mini yang telah disajikan. Saat kami masuk kedalam theater, tak disangka-sangka, didepan kami berjalan seorang wanita bergaun putih yang beberapa hari sebelumnya tak sengaja berpapasan dengan kami di Art Galery, ternyata memang benar dia, Naomi Kawaze. Seorang Sutradara wanita dari Jepang kesukaan Wregas Bhanuteja.
Saya dan Rosa duduk terpisah dengan Priyo, panitia menyuruh kami begitu. Padahal kursi-kursi disebelah saya dan Rosa banyak yang kosong. Mana kamera saya masih dipegang panitia lagi, saya kan jadi gak bisa foto-foto. Awarding Night dibuka dengan pembacaan nominasi dan para pemenang dikategori film-film pendek. Ada beberapa award untuk film pendek, yang saya ingat adalah "Best Singapore Short Film", "Young Jury Award" , dan "Best Asia Short Film" dimana Prenjak keluar sebagai pemenangnya! Saya deg-degan pada saat pembacaan nominasi saja karena ada dua film yang cukup menjadi lawan berat Prenjak, sebelum itu biasa banget rasanya.
Kemudian kami bingung siapa yang harus maju ke panggung, kami liat-liatan dulu karena Priyo duduk cukup jauh dengan kami, tapi akhirnya kami bertiga maju semua dan disambut Mbak Mira diatas panggung. Saya, Rosa dan Priyo pun gak ngeh apa yang Priyo ucapkan diatas panggung karena kami masih speechless dan Priyo agak kind of ngefly. Setelah pemberian piala kami langsung dibawa ke backstage untuk wawancara pemenang. Didepan ruangan wawancara sudah duduk Mas Bayu Prihatoro yang filmnya "On The Origin of Fear" menang dalam kategori "Special Mention South East Asian Short Movie".

![]() |
Naomi Kawaze was right behind! |
![]() |
Wrapped in Lurik & Batik by Lulu Luthfi Labibi |

Agenda siang ini cukup lowong, jadi kami memutuskan untuk mendatangi pameran di ArtScience Museum yang berjudul When Art Meets Science, artikelnya bisa dibaca disini.
Setelah itu kami beranjak ke Art Gallery Singapore untuk menonton salah satu film panjang yang sedang berkompetisi di SGIFF, dengan judul "Live From Dhaka". Kami memilih menonton film ini karena cukup mempunyai kedekatan dengan skrip film panjangnya Wregas, jadi ya untuk menambah referensi. Film ini tidak berwarna, alias hitam putih dan bercerita tentang sesosok wanita yang harus berjuang demi.... ya saya gak mau spoiler lagi deh. Intinya saya sukses tertidur pulas ketika didalam bioskop pemutaran berkat efek obat yang saya minum sebelumnya, maklum lagi masuk angin.
Ada cerita lucu saat kami berada di Art Gallery Singapore ini. Jadi ketika hendak registrasi sebelum pemutaran film, lewatlah sesosok wanita berpostur tinggi dan berambut pendek dihadapan saya, Pria juga melihatnya. Saya hanya membatin "Bu Naomi?". Setelah kami keluar gedung untuk menunggu pemutaran terjadilah perbincangan yang menghebohkan ini.
Pria: "Kalian tadi pada lihat gak sih?"
Rosa: "Liat apa, Pri?"
Pria: "Naomi Kawaze.."
Wregas: "Hah? Naomi Kawaze?? Masak??"
Ersya: "Weh? Jadi bener to itu tadi Naomi Kawaze, aku cuma mbatin aja sambil bingung.."
Wregas: "Woh woh woh mana mana? Masih ada gak?"
Pria: "Yo udah gak ada, tadi dia lewat pas kamu nulis diregistrasi."
Wregas: "Wah semprul! Kok gak ngasih tau??"
Pria & Ersya: "Lha kita wae yo bingung og.."
Buat yang belum tahu Naomi Kawaze itu siapa, bisa gugling digoogle dewe wae yak. Informasi tentang beliau banyak sekali, ndak usah tak suapin, makan sendiri aja hehe. Intinya dia adalah Sutradara wanita dari Jepang favoritnya Wregas Bhanuteja.
Kemudian Wregas kuciwa berat dengan peristiwa besar ia lewatkan tadi. Selesai menonton film kami kembali ke hostel untuk bersiap-siap menghadiri pemutaran film "Prenjak" di National Gallery Singapore, asli gedungnya keren parah!



Kami senang sekali pemutaran "Prenjak" disini dihadiri oleh teman-teman dekat yang memang berdomisili di Singapore untuk sekolah dan bekerja, ada Wintang & Mario, Valen & temannya, tak lupa juga Mas Tengku (sahabat Wregas dari kuliah) yang datang langsung dari Johor Baru. Dalam sesi kami terdapat 5 film pendek lain yang juga diputar. Salah satunya adalah film "Arnie" yang juga satu kompetisi dengan kami di Cannes kemarin, namun hanya dihadiri oleh produsernya, koh See Heng.
Ada satu film yang saya kagumi dipemutaran ini, sebuah film pendek dari Vietnam yang Sutradaranya bernama Bao. Saya lupa apa judul filmnya, genrenya masuk ke experimental pokoknya. Adegan-adegan yang ditampilkan sangat aneh tapi komposisi warna dan setnya amboi bikin kepala heran. Salah satu adegan yang terngiang dalam pikiran saya adalah ketika seorang wanita telanjang bulat sedang berdiri terpaku sambil membawa sebuah ikan pecut super besar yang kira-kira panjangnya dua meteran, we o we banget lah. Nah, ketika ada tanya jawab dengan filmmaker, ditemukan fakta bahwa dalam membuat film-filmnya Mas Bao tadi tidak menggunakan film dari maestro-maestro sebagai inspirasi dan referensi seperti filmmaker kebanyakan, melainkan dengan lukisan dan fotografi. Pantes aja bentuk filmnya kaya lukisan gitu.
Setelah melihat semua film yang diputar, saya jadi sok-sokan menjadi juri dan berpikir, kayanya "Prenjak" yang menang deh. Bukan gimana-gimana, tapi saya merasa dari film-film yang saya tonton itu "Prenjak" mempunyai makna dan impresi yang lebih dalam daripada kandidat lainnya, bukan berarti yang lain njuk jelek yo ya, bukan. Ini juga jujur, bukan karena itu film saya juga. Memang pada suatu perlombaan pasti akan dicari pemenang dengan bibit bebet dan bobotnya paling baik diantara yang terbaik kan? Kadang ketika berada dalam kompetisi kita memang harus optimis, tapi harus dilihat dan dibandingkan dengan karya kandidat lainnya. Disitu lah saya belajar mengukur diri, introspeksi dan menganalisa, bukan membutakan dengan hati dengan perasaan harus menang. Intinya tahu diri dan tidak terobsesi untuk menang kalo memang kana kiri jelas lebih oke, daripada berekspektasi ndakik ndakik terus gelo to ya..



Setelah selesai pemutaran kami makan malam bersama disebuah foodcourt entah didaerah mana, Wintang yang membawa kami kesana. Beberapa kedai yang saya incar makanannya sudah pada tutup karena memang sudah terlalu larut malam. Waktu menunjukan pukul satu pagi, tak terasa karena sibuk berbincang. Ternyata hostel kami tak jauh dari foodcourt itu, jadi kemudian kami bersama-sama pergi ke arah Clarke Quay. Wintang, Mario dan Valen juga lebih mudah mendapatkan taksi dari daerah hostel kami. Sesampainya di Jembantan Clarke Quay kami tidak jadi pulang ke rumah masing-masing karena masih ingin bermain bersama dan tergiur oleh salah satu club yang berjarak dua rumah dari hostel saya.
Entah apa nama clubnya, kami membayar $25 perorang. Ternyata club yang kami datangi tidak terlalu besar, berlantai lengket dan toiletnya gak bisa dikunci hahaha. Valen mentraktir kami beberapa shot. Saya, Wregas, Wintang dan Mario menyudahi pukul 4 pagi, karena Wregas harus istirahat dan packing untuk flightnya ke Paris beberapa jam lagi. Rosa, Priyo dan Valen masih tetap terjaga hingga pukul 6 pagi. Ternyata dari dalam kamar saya suara dentuman musik club itu cukup terdengar namun sayup-sayup.
Ada cerita lucu saat kami berada di Art Gallery Singapore ini. Jadi ketika hendak registrasi sebelum pemutaran film, lewatlah sesosok wanita berpostur tinggi dan berambut pendek dihadapan saya, Pria juga melihatnya. Saya hanya membatin "Bu Naomi?". Setelah kami keluar gedung untuk menunggu pemutaran terjadilah perbincangan yang menghebohkan ini.
Pria: "Kalian tadi pada lihat gak sih?"
Rosa: "Liat apa, Pri?"
Pria: "Naomi Kawaze.."
Wregas: "Hah? Naomi Kawaze?? Masak??"
Ersya: "Weh? Jadi bener to itu tadi Naomi Kawaze, aku cuma mbatin aja sambil bingung.."
Wregas: "Woh woh woh mana mana? Masih ada gak?"
Pria: "Yo udah gak ada, tadi dia lewat pas kamu nulis diregistrasi."
Wregas: "Wah semprul! Kok gak ngasih tau??"
Pria & Ersya: "Lha kita wae yo bingung og.."
Buat yang belum tahu Naomi Kawaze itu siapa, bisa gugling digoogle dewe wae yak. Informasi tentang beliau banyak sekali, ndak usah tak suapin, makan sendiri aja hehe. Intinya dia adalah Sutradara wanita dari Jepang favoritnya Wregas Bhanuteja.
Kemudian Wregas kuciwa berat dengan peristiwa besar ia lewatkan tadi. Selesai menonton film kami kembali ke hostel untuk bersiap-siap menghadiri pemutaran film "Prenjak" di National Gallery Singapore, asli gedungnya keren parah!






Kami senang sekali pemutaran "Prenjak" disini dihadiri oleh teman-teman dekat yang memang berdomisili di Singapore untuk sekolah dan bekerja, ada Wintang & Mario, Valen & temannya, tak lupa juga Mas Tengku (sahabat Wregas dari kuliah) yang datang langsung dari Johor Baru. Dalam sesi kami terdapat 5 film pendek lain yang juga diputar. Salah satunya adalah film "Arnie" yang juga satu kompetisi dengan kami di Cannes kemarin, namun hanya dihadiri oleh produsernya, koh See Heng.
Ada satu film yang saya kagumi dipemutaran ini, sebuah film pendek dari Vietnam yang Sutradaranya bernama Bao. Saya lupa apa judul filmnya, genrenya masuk ke experimental pokoknya. Adegan-adegan yang ditampilkan sangat aneh tapi komposisi warna dan setnya amboi bikin kepala heran. Salah satu adegan yang terngiang dalam pikiran saya adalah ketika seorang wanita telanjang bulat sedang berdiri terpaku sambil membawa sebuah ikan pecut super besar yang kira-kira panjangnya dua meteran, we o we banget lah. Nah, ketika ada tanya jawab dengan filmmaker, ditemukan fakta bahwa dalam membuat film-filmnya Mas Bao tadi tidak menggunakan film dari maestro-maestro sebagai inspirasi dan referensi seperti filmmaker kebanyakan, melainkan dengan lukisan dan fotografi. Pantes aja bentuk filmnya kaya lukisan gitu.
Setelah melihat semua film yang diputar, saya jadi sok-sokan menjadi juri dan berpikir, kayanya "Prenjak" yang menang deh. Bukan gimana-gimana, tapi saya merasa dari film-film yang saya tonton itu "Prenjak" mempunyai makna dan impresi yang lebih dalam daripada kandidat lainnya, bukan berarti yang lain njuk jelek yo ya, bukan. Ini juga jujur, bukan karena itu film saya juga. Memang pada suatu perlombaan pasti akan dicari pemenang dengan bibit bebet dan bobotnya paling baik diantara yang terbaik kan? Kadang ketika berada dalam kompetisi kita memang harus optimis, tapi harus dilihat dan dibandingkan dengan karya kandidat lainnya. Disitu lah saya belajar mengukur diri, introspeksi dan menganalisa, bukan membutakan dengan hati dengan perasaan harus menang. Intinya tahu diri dan tidak terobsesi untuk menang kalo memang kana kiri jelas lebih oke, daripada berekspektasi ndakik ndakik terus gelo to ya..




Setelah selesai pemutaran kami makan malam bersama disebuah foodcourt entah didaerah mana, Wintang yang membawa kami kesana. Beberapa kedai yang saya incar makanannya sudah pada tutup karena memang sudah terlalu larut malam. Waktu menunjukan pukul satu pagi, tak terasa karena sibuk berbincang. Ternyata hostel kami tak jauh dari foodcourt itu, jadi kemudian kami bersama-sama pergi ke arah Clarke Quay. Wintang, Mario dan Valen juga lebih mudah mendapatkan taksi dari daerah hostel kami. Sesampainya di Jembantan Clarke Quay kami tidak jadi pulang ke rumah masing-masing karena masih ingin bermain bersama dan tergiur oleh salah satu club yang berjarak dua rumah dari hostel saya.
Entah apa nama clubnya, kami membayar $25 perorang. Ternyata club yang kami datangi tidak terlalu besar, berlantai lengket dan toiletnya gak bisa dikunci hahaha. Valen mentraktir kami beberapa shot. Saya, Wregas, Wintang dan Mario menyudahi pukul 4 pagi, karena Wregas harus istirahat dan packing untuk flightnya ke Paris beberapa jam lagi. Rosa, Priyo dan Valen masih tetap terjaga hingga pukul 6 pagi. Ternyata dari dalam kamar saya suara dentuman musik club itu cukup terdengar namun sayup-sayup.

Tahun ini Jogja Asian Film Festival (JAFF) menjadi lebih spesial dari tahun-tahun biasanya karena film yang saya sutradarai akhirnya bisa masuk dan premiere pada salah satu kategori di festival film terbesar di Jogja ini. Tak hanya itu, film saya bersama Wregas Bhanuteja, The Floating Chopin juga berkompetisi dalam kategori film pendek di JAFF edisi tahun ke 11. Ditambah lagi dengan adanya Prenjak yang bertengger dikategori The Faces Of Indonesian Cinema Today. Komplit sudah!
Sebelum saya mulai bercerita, berikut adalah catatan dari programmer tentang kategori-kategori yang terdapat film kami didalamnya:

Konsistensi Pendekatan Film Pendek ke Masyarakat Umum
Sebuah film pada dasarnya diciptakan berdasarkan citra kehidupan di masyarakat yang sedang ataupun telah berlangsung. Selain itu, film juga memiliki fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini sebagai refleksi kehidupan berbudaya dan bermasyarakat dalam aspek hiburan juga pendidikan. Namun sampai saat ini, film pendek belum memiliki ruang yang cukup luas untuk berkontribusi terhadap masyarakat umum.Sekat-sekat ruang pemutaran masih berkutat pada ruang “eksklusif” seperti café, hotel, kampus, dll, yang secara akses sulit untuk dijangkau oleh masyarakat umum. Secara konsisten program Open Air Cinema JAFF mencoba untuk selalu mendekatkan film-film pendek untuk kembali ke masyarakat melalui penayangan.
Tahun ini, program Open Air Cinema akan digelar di 3 titik Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki fungsi tempat berbeda, yakni: Bukit Breksi, Taman Sari, dan Perpustakaan daerah Grahatama. Titik-titik itu dipilih bukan hanya karena strategis, namun juga karena memiliki karakter dan latar belakang penonton yang berbeda-beda, sebuah jaminan bahwa mereka akan memberikan respons yang berbeda-beda untuk film-film yang akan ditayangkan. Semoga ikhtiar mendekatkan film pendek dengan penonton melalui penyesuaian dengan daerah tinggal bisa menambah kontribusinya untuk masyarakat. Selamat berefleksi dari film yang akan ditonton.
Programmer
Mohammad Reza Fahriyansyah

Cahaya Asia
Sejak dinisiasi sebelas tahun yang lalu, program ini selalu berusaha mengambil fokus pada pembuat film yang mencoba memberikan alternatif berpikir yang tercermin dalam pilihan estetika dan isu yang dikelola dalam film-film terpilih. Tidak sedikit dari para pembuat film yang memulai perjalanannya di kategori ini di kemudian hari beranjak menjadi pembuat film panjang yang cukup berpengaruh di Asia dan diakui oleh dunia internasional karena mengenalkan dan membawa sudut pandang Asia dalam karya-karya mereka.
Jauh sebelum itu, sekitar dua puluh tahun yang lalu, dunia internasional barangkali masih kikuk dalam melihat Asia; hal itu tercermin dari terbatasnya nama-nama pembuat film Asia yang dikenal oleh dunia internasional. Para pendahulu ini, disadari ataupun tidak, telah membuat standar dan definisi atas apa yang disebut sinema Asia. Generasi selanjutnya kemudian melihat dengan sudut pandang, gaya, ataupun isu yang sudah telanjur dianggap sebagai ‘Asia’ tersebut. Faktanya, Asia terus berubah, terus berkembang, dan terus berusaha menemukan jati dirinya melalui para pembuat film yang amat berani menarik cerita ke sudut pandang dan sikap yang jauh lebih personal namun sekaligus mencerminkan kondisi kemanusiaan di sekitarnya.
Menjadi alternatif dan sesuatu yang independen adalah untuk terus mengikuti perkembangan zaman dan kondisi kemanusiaan di tempat Anda hidup; tanpa harus kehilangan sikap dan pendekatan personal yang Anda miliki. Sementara logika industri arus utama selalu saja berusaha meneguhkan temuan-temuan estetika ini menjadi aturan-aturan yang bisa diproduksi ulang dalam kerangka industri, pembuat film alternatif seharusnya menghindari keajekan. Mereka harus terus membantah serta melawan cara-cara yang sebelumnya sudah dikooptasi oleh logika industri melalui karya-karya mereka, tanpa harus merasa diri lebih tinggi dan suci.
Tentu saja program kami ini selalu berusaha mencari karya-karya utuh yang layak disebut film pendek, dan bukan film panjang yang berdurasi pendek. Namun, sebagai sebuah festival film kami tentu tidak mampu membatasi dan mengatur para pembuat film ini. Kami ada hanya untuk menangkap dinamika yang terjadi dalam proses kekaryaan yang bermunculan di berbagai negara Asia. Dengan bersetia dalam memilih hanya film-film yang kami rasa mewakili sinema Asia saat ini, kami ingin menggarisbawahi para pembuat film yang membawa perspektif dan sikap personal yang nyata dan mewujudkannya dalam karya. Harapan kami adalah bahwa karya-karya yang jujur dan berani ini akan dengan sendirinya menjadi cerminan yang lebih jelas dari sudut pandang dan persoalan kemanusiaan itu sendiri.
Kami berdoa agar para pembuat film ini menjelma menjadi Cahaya Asia yang memandu jalan para penerusnya agar mampu mengeskplorasi dengan cara yang lebih berani dan bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan pengetahuan. Di mata sinema kita semua sama. Selamat menonton.
Programmer
Ismail Basbeth

Adaptasi dan Restorasi
The Faces of Indonesian Cinema Today berisi film pendek dan panjang Indonesia terkini. Rancangan program ini ditujukan bukan hanya sebagai jembatan antara sinema Indonesia arus utama dan alternatif, melainkan juga antara sinema Indonesia arus utama dan Asia. Platform pemutaran pendek-panjang film Indonesia menjadi koridor yang khas untuk program ini. Sebagai gagasan, kami berusaha untuk membaca fenomena industri film di Indonesia dengan cara menyejajarkan dan mencari resonansi gaya serta keberagaman tema, baik film pendek maupun film panjang Indonesia arus utama. Sebagai laku, platform pendek-panjang sengaja kami pancangkan untuk mempertemukan penonton film pendek dan penonton film panjang Indonesia arus utama dalam rangkaian gagasan pemutaran.
Tahun ini, kami menangkap bahwa fenomena industri film di Indonesia bergerak dalam dua kata kunci: adaptasi dan restorasi. Dalam konteks adaptasi kami menempatkan Cado-cado (Ifa Isfansyah), My Stupid Boss (Upi Avianto), Rudy Habibie (Hanung Bramantyo), Moammar Emka’s Jakarta Undercover (Fajar Nugros), dan Warkop DKI Reborn (Anggi Umbara). Lima film panjang tersebut, bagi kami, punya capaian yang berbeda-beda.
Cado-cado adalah eksplorasi cerita tentang cita-cita paling populer di Indonesia: menjadi dokter. Kendati menjadi cita-cita paling populer, namun profesi dokter jarang mendapatkan eksplorasi ilmiah dan profesionalnya di antara wajah-wajah sinema Indonesia. Untuk eksplorasi profesi yang berbeda, My Stupid Boss dan Rudy Habibie adalah dua film yang perlu kami baca. My Stupid Boss adalah komedi dalam ruang, situasi, dan relasi antara kepala administrasi dengan bosnya yang sangat menyebalkan dan bodoh. Tik-tok adegan dan dialog dalam My Stupid Boss perlu digarisbawahi sebagai sesuatu yang sangat hidup. Sedangkan Rudy Habibie mengeksplorasi proses dan masa muda Bacharuddin Jusuf Habibie sebelum menjadi profesor dan salah seorang yang kemudian penting di dunia politik Indonesia.
Dua film adaptasi lagi kental asosiasinya dengan dinamika kota Jakarta: Moammar Emka’s Jakarta Undercover dan Warkop DKI Reborn. Jika Moammar Emka’s meng-cover Jakarta dari Jakarta yang “undercover”, Warkop DKI Reborn dihadirkan untuk merekam Jakarta hari ini dengan pola komedi yang tengah berkembang: meme.
Film-film tersebut, masing-masing akan dibuka oleh salah satu dari film pendek Indonesia berikut: Ang (Michaela Clarissa Levi), Andro & Jini (Nurullita Marla), Amelis (Dery Prananda), Worked Club (Tunggul Banjaransari), dan Singsot (Wahyu Agung Prasetyo). Ang adalah animasi pendek yang hangat dan berisi. Andro & Jini adalah cerita pendek tentang pelarian diri dua anak dari sesuatu yang tak mereka inginkan. Amelis adalah film pendek alternatif yang sangat efektif dalam menyampaikan kritik atas infrastruktur yang tak memadai. Worked Club adalah narasi acak tentang pembantu rumah tangga yang naik kelas dalam bingkai sinema. Sedangkan Singsot adalah horor komedi yang ditata dengan sangat apik.
Selanjutnya, di aras restorasi, tahun ini Indonesia memiliki Tiga Dara (Usmar Ismail) dalam bentuk restorasi. Restorasi Tiga Dara, bagi kami, hadir kembali dalam wajah baru film Indonesia. Ia menjadi sejarah restorasi film Indonesia lama di tahun ini, sebagaimana film pendek pembukanya nanti, Prenjak (Wregas Bhanuteja) adalah sejarah bagi prestasi film pendek Indonesia di Cannes. Selamat menonton..
Programmer
Suluh Pamuji &Ismail Basbeth


Tahun ini JAFF dimulai pada tanggal 26 November 2016 hingga 3 Desember 2016. Sayangnya kami tidak bisa mengikuti seluruh rangkaian acara karena diawal Desember kami harus berangkat ke Singapura untuk mengikuti Singapore International Film Festival (SGIFF) 2016, karena film Prenjak juga berkompetisi disana.
Desember selalu menjadi penutup tahun yang manis dengan adanya pesat film seperti ini, bisa menonton film-film baru dan yang sedang hitz disepanjang tahun.
Pembukaan JAFF diadakan di Taman Budaya Yogyakarta dengan acara Dance Film Performance garapan Faozan Rizal yang berkolaborasi dengan Tony Broer sebagai penari tunggal dan Yasuhiro Morinaga sebagai sound director, so majestic! Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film Salawaku sebagai film pembuka JAFF #11, tapi kami tidak sempat menonton karena harus menyelesaikan pekerjaan kami yang ada deadline malam itu.
![]() |
Pembukaan festival oleh Budi Irawanto dan Garin Nugroho didepan lukisan Gertjan Zuilhof |
![]() |
Dance film performance |

Pemutaran film kami dimuai di tanggal 29 November, sayangnya film Gilingan dan The Floating Chopin berada dijam dan tanggal yang sama namun berbeda tempat. Gilingan ada di Tebing Breksi Prambanan dan The Floating Chopin ada di Taman Budaya, jauh banget sih ya jarak kedua tempat itu, jadi saya dan Wregas terpaksa bagi tugas, gak bisa bersama-sama menghadiri tiap pemutarannya. Padahal dalam satu kategori pemutaran The Floating Chopin terdapat film The Origin of Fear yang pemainnya juga pemain film Gilingan. Yah, sudahlah.. Ternyata setelah diketahui Mas Basbeth luput kalau The Floating Chopin film saya juga, jadi ya gak sengaja bentrok jadwalnya 😂
Sore hari sebelum premiere film Gilingan, Wregas mengantar saya ke Tebing Breksi, lalu ketika pemutaran hampir dimulai ia langsung bergegas menuju ke Taman Budaya untuk menemani pemutaran The Floating Chopin. Di Tebing Breksi saya ditemani oleh para wanita-wanita yang sudah membantu membuat film Tugas Akhir ini, ada Diday yang membantu sebagai Talent Coordinator, Titak yang sigap dengan Wardrobenya, Siti yang ready dengan Make Up Palletenya, senang sekali rasanya disupport oleh mereka! Hadir juga Mbak Sekar Sari bersama dengan salah satu programmer film dari Belanda. Program Open Air Cinema ini memang ditujukan untuk mendekatkan film kepada masyarakat, jadi biasanya lebih sering dilaksanakan mblusuk-mblusuk ke desa dengan film-film yang kiranya relate dengan mereka, seperti film Lemantun yang juga premiere diprogram Open Air Cinema dua tahun lalu disebuah desa di Godean.



Film Gilingan diputar bersama keempat film lainnya dalam program Light Of Asia 1, namun filmmaker yang datang saat itu hanya saya karena memang yang lain berdomisili di luar Jogja. Vibes pemutaran di Tebing Breksi sangatlah surreal karena menonton film di ruang terbuka dengan dikelilingi alam dan tebing-tebing batu breksi yang beberapa tebingnya sudah diukir membentuk seperti relief-relief candi dan naga, serta udaranya yang dingin-dingin sejuk. Ketika magrib hampir datang, mobil bioskop keliling milik Dinas Pendidikan mulai muncul dan parkir. Lucu banget liat mobil bioskop keliling itu, berasa balik ke jaman dulu. Tahun lalu saya pernah menonton film layar tancep yang memutarnya masih menggunakan seluloid diacaranya Lab Labalaba. Diadakan di halaman gedung Perusahaan Film Negara yang bangunannya sudah gak kerawat itu, tapi malah bikin suasana tambah lawas dengan aksen beberapa pohon pisang dan lumput liar disekitarnya, nah sekarang cuma kurang dua lagi wishlist saya yaitu nonton di bioskop lawas di seberang Pasar Senen dan Drive-In Theater. Duh ada gak ya?
Anyway, saya amazed sama mobil bioskop keliling yang lebih mirip sama kantong Doraemon ini, karena dari dalamnya bisa keluar sebuah layar raksasa untuk memutar film, tiang-tiang besi, proyektor, speaker, genset dan perlengkapan pemutaran lainnya.
Waktu pemutaran film di Tebing Breksi molor satu jam karena layar belum siap. Pupus sudah harapan saya untuk mengejar pemutaran The Floating Chopin, but it's okay. Sekitar jam 8 malaman pemutaran akhirnya dimulai, para warga sekitar dan pengunjung Tebing Breksi dengan antusias menonton film-film yang ada. Saya selalu suka meliat reaksi-reaksi penonton ketika sedang menonton sebuah film, contohnya seperti ada sebuah film horor yang diputar dalam Open Air Cinema ini, sebenernya agak serem juga sih menurut saya kalau muterin film horor di tempat kaya gini, hmm. Tapi para warga sepertinya gak peduli dan tetap berteriak-riak "Awas.. Awas.." ketika si tokoh utama dalam film tidak mengetahui bahwa ada hantu sedang mengintai hahahaha, atau seperti reaksi mereka setelah menonton salah satu film anak-anak yang juga diputar saat itu, ada seorang Ibu yang bilang ke anaknya seperti ini "Nah, kaya gitu kalau sekolah yang rajin..". Tapi yang paling mencuri perhatian dalam pemutaran film di Tebing Breksi ini adalah saat pemutaran film pendek horor dengan judul Sandekala. Yakni pada bagian klimaks film, dimana posisi setan akhirnya berada tepat dibelakang tokoh utama dan musik sangat melengking-lengking, DAR! Tiba-tiba seluruh listrik padam. Duh ada-ada aja nih.. Tapi beberapa menit kemudian listrik kembali menyala lagi kok.. Terbawa suasana mungkin para makhluk-makhluk tak terlihat yang turut serta menonton bersama kami 😂
Untungnya film Gilingan diputar sebelum film Sandekala jadi ya nuansanya belum seram lah haha. Setelah pemutaran terdapat sesi tanya jawab dengan penonton. Banyak warga yang merespon kondisi yang ada dalam film saya. Senang rasanya film saya bisa diapresiasi oleh para warga yang menonton.




Setelah selesai pemutaran saya langsung menghampiri Wregas sudah menunggu di Taman Budaya Yogyakarta. Pemutaran The Floating Chopin berjalan lancar dan menyenangkan, penonton juga meresponnya disesi tanya jawab.
Dihari selanjutnya tanggal 30 November, film Prenjak diputar sebagai film penutup dari film Tiga Dara karya Usmar Ismail di Empire XXI Jogja dan full house! Beberapa teman dan saudara saya sampai tidak kebagian tiketnya. Pemutaran kali ini juga terdapat sesi tanya jawab singkat dengan kami. Yang paling bikin geli adalah sebuah pertanyaan dari seorang mas-mas yang terlihat sangat serius, sampai duduknya aja dibangku paling depan dan melontarkan pertanyaan yang agak sotoy dengan nada sengak seperti ini, "Kenapa sosok Diah dalam film Prenjak ini memakai behel? Sedangkan dia duit untuk hidup aja susah. Kan behel untuk gaya hidup orang berada. Sepertinya kurang relevan ya..". Kemudian dijawablah dengan singkat padat dan jelas oleh Wregas "Behel saat ini bisa punya siapa saja, saya pernah ngekos di daerah kampung Kalipasir Jakarta, yang ekonominya menengah kebawah. Disana anak-anak remaja SMP menggunakan behel yang bisa didapatkan di Kota Tua atau dimana saja dengan harga murah sekitar 100 ribuan". Well, kayanya masnya kurang jalan-jalan nih, di Jolie Jogja aja saya pernah liat behel harganya 1.500 rupiah aja lho, tapi bracketnya dari manik-manik, bisa pasang copot lagi.. Kemudian sesaat setelah menerima jawaban seperti itu dari Wregas tiba-tiba dia cabut dengan wajah kezel. Duh, ku juga kezel maz liat orang kaya u.. 😂




Terimakasih untuk JAFF yang sudah memberikan ruang untuk memutarkan film-film kami dan juga para penonton yang sudah mengapresiasi dengan baik film-film kami, Gilingan, The Floating Chopin dan Prenjak!
Translate This Blog
FOLLOW ME
Labels Cloud
Analog Film
Anthro Journey
Bandung
Beach
Bed Time Story
Cave
Cita Rasa Dunia
College
Cultural Festival
Doodles
East Nusa Tenggara
Ethnosgraphia
Event
Exhibition
Film
Film Festival
Film Journal
Film Tourism
Hong Kong
Indonesia
Jakarta
Japan
Kyoto
Lagoon
Media
Museum
Photo Commission
Photo Exhibition
Photo Journal
Photo Series
Place to Stay
Press
Riau Archipelago
River
Singapore
Slice Of Life
Sumba
Tourist Village
Village
Vlog
Way Of Life
Yogyakarta
POPULAR POST
-
Terletak di Pulau Mursala, sebuah pulau yang diapit oleh Pulau Sumatra dan Pulau Nias, air terjun yang langsung bermuara ke Samudr...
-
Indonesia | 2016 | Color | 12 Minutes Diah took Jarwo to the warehouse at lunchbreak. She said that she needs some quick money. She ...
-
Tugas Dasar Fotografi pertama saya adalah membuat sebuah kamera. Wih canggih banget, baru masuk IKJ udah bisa bikin kamera? Iya, kamer...
Cari Blog Ini
Label
- Analog Film (9)
- Anthro Journey (1)
- Bandung (1)
- Beach (3)
- Bed Time Story (4)
- Cave (2)
- Cita Rasa Dunia (1)
- College (2)
- Cultural Festival (3)
- Doodles (1)
- East Nusa Tenggara (3)
- Ethnosgraphia (5)
- Event (8)
- Exhibition (4)
- Film (11)
- Film Festival (15)
- Film Journal (10)
- Film Tourism (1)
- Hong Kong (1)
- Indonesia (12)
- Jakarta (1)
- Japan (3)
- Kyoto (3)
- Lagoon (1)
- Media (9)
- Museum (2)
- Photo Commission (3)
- Photo Exhibition (1)
- Photo Journal (2)
- Photo Series (16)
- Place to Stay (1)
- Press (3)
- Riau Archipelago (1)
- River (3)
- Singapore (4)
- Slice Of Life (1)
- Sumba (3)
- Tourist Village (1)
- Village (1)
- Vlog (2)
- Way Of Life (1)
- Yogyakarta (12)