Singapore International Film Festival 2016: Prenjak Screening



Agenda siang ini cukup lowong, jadi kami memutuskan untuk mendatangi pameran di ArtScience Museum yang berjudul When Art Meets Science, artikelnya bisa dibaca disini.

Setelah itu kami beranjak ke Art Gallery Singapore untuk menonton salah satu film panjang yang sedang berkompetisi di SGIFF,  dengan judul "Live From Dhaka". Kami memilih menonton film ini karena cukup mempunyai kedekatan dengan skrip film panjangnya Wregas, jadi ya untuk menambah referensi. Film ini tidak berwarna, alias hitam putih dan bercerita tentang sesosok wanita yang harus berjuang demi.... ya saya gak mau spoiler lagi deh. Intinya saya sukses tertidur pulas ketika didalam bioskop pemutaran berkat efek obat yang saya minum sebelumnya, maklum lagi masuk angin.

Ada cerita lucu saat kami berada di Art Gallery Singapore ini. Jadi ketika hendak registrasi sebelum pemutaran film, lewatlah sesosok wanita berpostur tinggi dan berambut pendek dihadapan saya, Pria juga melihatnya. Saya hanya membatin "Bu Naomi?". Setelah kami keluar gedung untuk menunggu pemutaran terjadilah perbincangan yang menghebohkan ini.

Pria: "Kalian tadi pada lihat gak sih?"
Rosa: "Liat apa, Pri?"
Pria: "Naomi Kawaze.."
Wregas: "Hah? Naomi Kawaze?? Masak??"
Ersya: "Weh? Jadi bener to itu tadi Naomi Kawaze, aku cuma mbatin aja sambil bingung.."
Wregas: "Woh woh woh mana mana? Masih ada gak?"
Pria: "Yo udah gak ada, tadi dia lewat pas kamu nulis diregistrasi."
Wregas: "Wah semprul! Kok gak ngasih tau??"
Pria & Ersya: "Lha kita wae yo bingung og.."

Buat yang belum tahu Naomi Kawaze itu siapa, bisa gugling digoogle dewe wae yak. Informasi  tentang beliau banyak sekali, ndak usah tak suapin, makan sendiri aja hehe. Intinya dia adalah Sutradara wanita dari Jepang favoritnya Wregas Bhanuteja.

Kemudian Wregas kuciwa berat dengan peristiwa besar ia lewatkan tadi. Selesai menonton film kami kembali ke hostel untuk bersiap-siap menghadiri pemutaran film "Prenjak" di National Gallery Singapore, asli gedungnya keren parah!


              









Kami senang sekali pemutaran "Prenjak" disini dihadiri oleh teman-teman dekat yang memang berdomisili di Singapore untuk sekolah dan bekerja, ada Wintang & Mario, Valen & temannya, tak lupa juga Mas Tengku (sahabat Wregas dari kuliah) yang datang langsung dari Johor Baru. Dalam sesi kami terdapat 5 film pendek lain yang juga diputar. Salah satunya adalah film "Arnie" yang juga satu kompetisi dengan kami di Cannes kemarin, namun hanya dihadiri oleh produsernya, koh See Heng.

Ada satu film yang saya kagumi dipemutaran ini, sebuah film pendek dari Vietnam yang Sutradaranya bernama Bao. Saya lupa apa judul filmnya, genrenya masuk ke experimental pokoknya. Adegan-adegan yang ditampilkan sangat aneh tapi komposisi warna dan setnya amboi bikin kepala heran. Salah satu adegan yang terngiang dalam pikiran saya adalah ketika seorang wanita telanjang bulat sedang berdiri terpaku sambil membawa sebuah ikan pecut super besar yang kira-kira panjangnya dua meteran, we o we banget lah. Nah, ketika ada tanya jawab dengan filmmaker, ditemukan fakta bahwa dalam membuat film-filmnya Mas Bao tadi tidak menggunakan film dari maestro-maestro sebagai inspirasi dan referensi seperti filmmaker kebanyakan, melainkan dengan lukisan dan fotografi. Pantes aja bentuk filmnya kaya lukisan gitu.

Setelah melihat semua film yang diputar, saya jadi sok-sokan menjadi juri dan berpikir, kayanya "Prenjak" yang menang deh. Bukan gimana-gimana, tapi saya merasa dari film-film yang saya tonton itu "Prenjak" mempunyai makna dan impresi yang lebih dalam daripada kandidat lainnya, bukan berarti yang lain njuk jelek yo ya, bukan. Ini juga jujur, bukan karena itu film saya juga. Memang pada suatu perlombaan pasti akan dicari pemenang dengan bibit bebet dan bobotnya paling baik diantara yang terbaik kan? Kadang ketika berada dalam kompetisi kita memang harus optimis, tapi harus dilihat dan dibandingkan dengan karya kandidat lainnya. Disitu lah saya belajar mengukur diri, introspeksi dan menganalisa, bukan membutakan dengan hati dengan perasaan harus menang. Intinya tahu diri dan tidak terobsesi untuk menang kalo memang kana kiri jelas lebih oke, daripada berekspektasi ndakik ndakik terus gelo to ya..










Setelah selesai pemutaran kami makan malam bersama disebuah foodcourt entah didaerah mana, Wintang yang membawa kami kesana. Beberapa kedai yang saya incar makanannya sudah pada tutup karena memang sudah terlalu larut malam. Waktu menunjukan pukul satu pagi, tak terasa karena sibuk berbincang. Ternyata hostel kami tak jauh dari foodcourt itu, jadi kemudian kami bersama-sama pergi ke arah Clarke Quay. Wintang, Mario dan Valen juga lebih mudah mendapatkan taksi dari daerah hostel kami. Sesampainya di Jembantan Clarke Quay kami tidak jadi pulang ke rumah masing-masing karena masih ingin bermain bersama dan tergiur oleh salah satu club yang berjarak dua rumah dari hostel saya.

Entah apa nama clubnya, kami membayar $25 perorang. Ternyata club yang kami datangi tidak terlalu besar, berlantai lengket dan toiletnya gak bisa dikunci hahaha. Valen mentraktir kami beberapa shot. Saya, Wregas, Wintang dan Mario menyudahi pukul 4 pagi, karena Wregas harus istirahat dan packing untuk flightnya ke Paris beberapa jam lagi. Rosa, Priyo dan Valen masih tetap terjaga hingga pukul 6 pagi. Ternyata dari dalam kamar saya suara dentuman musik club itu cukup terdengar namun sayup-sayup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram