Eropa dan Indonesia terhubung dengan cara aneh dalam film Wregas Bhanuteja ini. Bukan aneh, tepatnya intim. Keintiman itu mungkin jadi tak biasa ketika dihadapkan dengan kategori-kategori yang terlanjur hidup dan dipercaya manjur ketika membicarakan budaya dalam skala global. Eropa menjadi semacam pusat bagi acuan estetik, sebagaimanapun upaya Indonesia atau wilayah lain non-Eropa untuk mencari ke dalam diri sendiri, selalu bertemu dengan Eropa ini dalam hal perumusan dan pementasan. Non-Eropa seperti tak percaya diri ketika harus merumuskan dan mementaskan sendiri, dan terus mencari jalan untuk berada atau bersinggungan dalam trayek sejarah Eropa dalam soal estetika.
Wregas memulai filmnya dengan sebuah pernyataan penting tentang perjalanan wisata, tentang pakansi: sebuah laku serius bagi orang Eropa dalam penemuan dan perumusan estetika mereka ini. Saya bicara soal Grand Tour abad ketujuhbelas hingga kesembilanbelas dimana para bangsawan dari kawasan metropolis kapitalisme industrial bepergian ke wilayah lain Eropa sebagai bagian ritus pendewasaan dan penemuan akar kebudayaan mereka pada artefak antik maupun pada seni era Renaissance. Turisme semacam ini terus menjadikan Eropa sebagai pusat, dimana perjalanan wisata selalu dikaitkan dengan ritus pasasi, pencicipan kebebasan dan pengalaman otentik bertemu dengan Liyan dan peneraan jejak pada trayek yang memandang Eropa sebagai pusat dan wilayah lain sebagai pinggiran yang perlu dieksplorasi. Sebuah perjalanan sekuler yang menegaskan tentang keberdayaan dan keberbudayaan.
Di sinilah Wregas memulai filmnya dengan berkomentar soal Bali yang sudah menjadi bagian dari trayek semacam itu. Dan ia mencoba kembali pada “kemurnian” dan “kesunyian” Gunung Kidul sebagai ritus pasasinya sendiri bersama pacarnya Ersya Ruswandono. Sebuah sketsa klise yang memungkinannya jatuh pada opsisi biner ‘kemurnian’ versus ‘ketercemaran’.
Di tengah oposisi biner ini, Wregas bicara tentang Eropa sebagai bagian dari trayek pribadinya. Dalam percakapan yang intim dengan kekasihnya Ersya, Wregas menceritakan ziarahnya ke makam-makam di Paris. Ia secara relijius mengunjungi dan merekam makam Frederic Chopin, Jim Morrison dan George Melies sebagai semacam tanda khidmat terhadap estetika Eropa, budaya pop dan sinema. Eropa tidak sekuler dimata Wregas. Yang spiritual selalu bercampur dengan fisik yang profan dan pemaknaan selalu bisa keluar dari kanon yang dibentuk satu arah oleh para cendekiawan, dan Wregas sedang bermain menuju ke sana.
Di sinilah Chopin Larung karya Guruh Soekarnoputra menjadi semacam perangkat penting bagi Wregas untuk merumuskan trayeknya sendiri. Musik Guruh itu membuka jalan baginya: Chopin sudah pernah mengalami “pribumisasi” oleh Guruh. Istilah pribumisasi ini berasal dari saya sendiri yang bisa terasa kelewatan, tetapi Guruh bicara mengenai Chopin sebagai wakil Eropa yang –dalam lirik lagu Guruh- dianggap membawa kerusakan budaya juga dan melupakan Tuhan. Eropa menjadi sekuler, tercemar dan tidak murni di mata Guruh. Sekalipun Chopin di lagu ini menjadi synecdoche, menjadi wakil dari keseluruhan Eropa, tetapi saya paham bahwa ini berasal dari pengalaman Guruh pribadi, berasal dari nostalgia tentang hilangnya masa-masa Bali yang murni dan belum ‘tercemar’. Terjadi esensialisasi Eropa dalam komposisi Guruh yang sepenuhnya bersandar pada oposisi biner murni versus cemar, alias Bali versus Eropa. Dan sampai di sini kita kembali pada premis di awal film yang bicara soal komentar Wregas terhadap Bali sebagai sebuah lokasi turisme yang tercemar tadi.
Lalu bagaimana dengan sikap Wregas sendiri? Ia punya trayeknya sendiri dan sudah tiga perempat jalan dibahas di sini. Sisa terakhir adalah penafsirannya terhadap Chopin itu sendiri. Apakah ia kembali pada oposisi biner seperti halnya Guruh Soekarnoputra? Ia berangkat dari posisi biner itu dengan kemurnian dan kesunyian Gunung Kidul agar bisa bicara dengan intim mengenai penafsirannya sendiri tentang Chopin. Kemana arah penafsiran Wregas? Saya rasa pembahasan dihentikan di sini saja, karena tulisan ini berpeluang jadi spoiler kalau diteruskan, sekalipun Anda mungkin bisa menerka kemana Wregas menuju. Saran saya, silakan tonton filmnya.
Oleh Eric Sasono (Kritikus Film)