Budaya dan identitas merupakan dua hal yang berhubungan erat. Identitas kita berakar dari budaya yang kita pahami dan yakini. Sedangkan dalam pemaknaan secara terminologinya, budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat abstrak, dan luas. Budaya juga dapat dikatakan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya berlangsung melalui suatu transmisi sosial yang disebut “proses belajar mengajar”. Sedangkan perawatannya melalui proses penciptaan dapat berasal dari interaksi sosial berupa komunikasi. Menurut E.B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. (Taylor, 1974:1) Kebudayaan merupakan hal yang bersifat dinamis, bukan statis, namun disatu sisi juga serta bersifat stabil. Perubahan kebudayaan dapat dipelajari dengan cara membandingkan keadaan sekarang dengan masa yang lampau. Sedangkan identitas merupakan refleksi diri yang merujuk kepada keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi yang bercampur dan akhirnya menjadikan itu sebagai persepsi orang lain terhadap diri kita, menurut menurut Stella Ting Toomey, atau dapat dikatakan juga sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu. Identitas sendiri adalah sesuatu hal yang ada diluar diri kita tetapi dianggap ada didalam diri kita juga. Namun jika memang suatu budaya atau identitas masa lalu sudah tidak relevan lagi dan merugikan di masa kini memang tidak ada salahnya untuk meninggalkan. Namun jika hal tersebut memiliki nilai jual atau nilai estetik lainnya yang menguntungkan di masa kini atau memang harus dipertahankan untuk keberlangsungan kehidupan selanjutnya tidak ada salahnya untuk tetap melanggengkannya.
Rekonstruksi Budaya & Siklus Tren 20-50 Tahunan
Siklus pergerakan yang ada dalam sejarah industri disebut sebagai "Aturan 20 Tahun." Aturan ini mengungkapkan konsep bahwa sesuatu yang populer sekarang akan populer lagi dalam 20 tahun. Meskipun tren baru selalu muncul, seringkali modernisasi atau interpretasi tren sudah kita lihat sebelumnya. Menurut Hukum Laver: ketika suatu tren sedang booming kita akan selalu menganggapnya sebagai sesuatu yang brilian. Satu tahun kemudian respon tersebut berubah menjadi “masih berani” menggunakan barang lama, 20 tahun kemudian hal tersebut menjadi “konyol” untuk ditampilkan dan 50 tahun adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk sebuah tren bisa mulai merayap kembali ke dalam gaya. Saat ini budaya berkembang dan tumbuh lebih cepat dari sebelumnya, tetapi siklus 20 tahun tampaknya tetap bertahan. Hal-hal disukai pada tahun 70-an kembali pada tahun 90-an dan begitu seterusnya seperti sekarang ini, dimana mulai booming kembali anak muda memotret dengan kamera film seluloid padahal di awal tahun 2000-an banyak perusahaan kamera bangkrut karena massa berpindah dari analog ke digital. Begitu halnya dengan piringan hitam yang kembali menjadi primadona, anak-anak muda berbondong pergi ke pasar loak untuk mencari turntable, atau dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang kemudian memproduksi kembali produk lawasnya tersebut. Merekonstruksi dan membayangkan kembali cara mereka merespon budaya lama dengan cara terkini memang memberikan sentuhan yang menarik. Menggunakan sumber budaya yang didayagunakan untuk mencapai tujuan dengan komposisi isu apa yang ingin dibagikan.
Identitas Masa Lalu
Identitas masa lalu adalah sebuah refleksi seseorang terhadap kehidupan, yang bisa digunakan sebagai sarana untuk mengenang sesuatu. Seperti halnya Michiel Sekan yang menganggap musik Indonesia masa lampau adalah sebagai jembatannya kepada akar leluhurnya di Indonesia. Rekonstruksi identitas baru sebagai warga negara Belanda seringkali hanya di atas kertas, namun ideologi dan rasa kebangsaan seringkali masih negara asalnya. Rekonstruksi masih sebagai suatu bentuk dari representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Identitas itu sendiri merupakan sumber pemaknaan dan pengalaman bagi seseorang karena menunjukkan proses konstruksi berdasarkan sifat-sifat budaya (Castells 1997, 6). Menjaga dan merawat kebudayaan dapat dilakukan cara dengan melakukan kegiatan kebudayaan itu sendiri, salah satunya melalui seni. Aspek-aspek seni menurut Ernst Cassirer dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: seni visual dan seni pertunjukan, yang mencakup: seni rupa (melukis), seni pertunjukan (tari, musik), seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, banguna , perahu).
Romansa Masa Lalu
Anak-anak muda masa kini yang edgy biasa dikenal dengan istilah hipster yakni kaum yang gandrung pada gaya yang ‘nyeleneh’ atau cenderung menyukai hal-hal di luar aliran utama yang sedang tren di Indonesia dan belahan dunia lainnya. Rata-rata mereka banyak melirik ke gaya masa lampau. Namun yang paling banyak diminati saat ini adalah gaya tahun 1950-an atau sering disebut sebagai 'retro'. Mulai dari fashion, musik, desain interior hingga arsitektur lawas bermunculan kembali memperlihatkan gaya 'retro' di kota-kota besar Indonesia. Ada dua alasan yang berbeda dalam munculnya kembali aliran retro ini. Untuk yang berusia 40 tahun ke atas, barang antik menjadi nostalgia dari masa-masa lalu yang indah, banyaknya akan kenangan masa kecil mereka yang bersinggungan secara langsung. Dimana saat ini mereka melihat perubahan yang sangat drastis terjadi sehingga pola anak kecil masa kini jauh berbeda dengan masa mereka karena pengaruh berkembangnya teknologi yang semakin cepat. Namun bagi anak muda hipster, mengadopsi masa lalu di zaman ketika mereka pun belum lahir itu merupakan sesuatu yang keren. Bisa mengetahui atau memainkan barang yang memang jarang menjadi favorit banyak orang mempunyai kebanggaan serta eksklusifitas bagi mereka sendiri karena mereka seperti merasa memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih serta sense yang bisa dianggap orang-orang merupakan hal yang unik. Bisa dicontohkan seperti anak kelahiran akhir tahun 90an yang kini di tahun 2018 ini memasuki umur 20 tahunan gemar mengoleksi piringan hitam. Sebagaimana kita ketahui, memasuki tahun 70an piringan hitam mulai bergeser menjadi bentuk kaset tape, itu berarti mulai tidak digunakannya lagi piringan hitam oleh masyarakat adalah 20 tahun sebelum kelahiran para anak-anak 90an tersebut. Namun Retro bukan hanya sekadar urusan asyik dipandang mata belaka, menurut Amir Sidartha, seorang pengamat seni dan dosen sejarah arsitektur Universitas Pelita Harapan, tentang pandangannya terhadap arsitektur retro terutama dalam gaya Rumah Jengki (atau Yankee) yang kini memang kembali menjadi tren, "Pada saat ini ada beberapa perkembangan yang mirip. Dan para arsitek masa kini mungkin bisa mendapat inspirasi dari arsitektur jengki, bukan dari gaya atau tampilan visualnya saja, tapi jika menganalisa lebih jauh bagaimana pendekatan jengki berupaya menjawab masalah iklim, lingkungan dan kenyamanan, selain juga ekonomi”.
__________________________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka:
Agnew, Vijay. (2005). Diaspora, Memory and Identity: A Search for Home. University of Toronto Press
Alfonso, Carolin; Kokot, Waltraud; Tölölyan, Khachig. (2004). Diaspora, Identity and Religion: New Directions in Theory and Research. USA & CA: Routledge
Arana, Jessica Maria Michel. (2014). Revealing Borderland Identities: Diaspora, Memory, Home, and Art. California State University, Northridge
Beaulieu-Boon, Hendrika H. (2009). So Far Away From Home : Engaging The Silenced Colonial : The Netherlands-Indies diaspora in North America. Leiden University
Elliot, Cheryl. (2007). Negotiating Identity in Diaspora: Memory and Belonging in Dionne Brand's Land to Light On and Austin Clarke's The Origin of Waves. The University of Manitoba
Hall, Stuart. (1994). Cultural Identity and Diaspora from Patrick Williams & Laura Chrisman. London: Harvester Wheatsheaf
Kaya, Ayhan. (1997). Constructing Diasporas: Turkish Hip-Hop Youth in Berlin. University of Warwick
Rushdie, Salman. (1981). Imaginary Homelands. London: Penguin Books
Taylor, Edward Burnett. 1974. Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. Gordian Press
Tettey, Wisdom J.& Puplampu, Korbla P. (2005). The African Diaspora in Canada: Negotiating Identity and Belonging. University of Calgary Press
Wittermans, Tamme & Gist, Noel P. (1961). Urbanization and Integration of the Ambonese in the Netherlands. Retrieved from https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1533-8525.1961.tb01 90.x
https://historia.id/modern/articles/repatriasi-harga-mati-Drml6 https://historia.id/modern/articles/meniti-jalan-nasionalisasi-vQXGB https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Indo
https://historia.id/modern/articles/inilah-bidang-bidang-usaha-yang-dinasionalisasi-6joz1
https://fashionindustrybroadcast.com/2016/03/09/20-year-trend-cycle-next/
https://www.researchgate.net/publication/328609174_DIASPORA_DAN_IDENTITAS_KOMUNITAS_EKSIL_ASAL_INDONESIA_DI_BELANDA
https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20161123/Tiga-Musketeer-Belanda-Pro-Indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar