
Orang Indo merupakan singkatan dari nama dalam bahasa Belanda, Indo-Europeaan (Eropa-Hindia / Indonesia) adalah kelompok etnik Mestizo yang ada di Hindia Belanda / Indonesia dan sekarang menjadi kelompok etnik minoritas terbesar di Belanda. Kelompok etnis ini dicirikan dari kesamaan asal usul rasial, status legal, dan kultural. Kaum Indo merupakan keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu di Eropa (terutama Belanda) dengan fenotipe Eropa dan orang dari etnik non-Eropa tertentu di Hindia Belanda / Indonesia. Secara hukum, sebagian besar berstatus sebagai warga Eropa di Hindia Belanda (Europeanen). Mereka menjunjung nilai-nilai budaya Eropa dengan banyak pengaruh lokal Indonesia pada derajat tertentu dalam kehidupannya sehari-hari. Meskipun demikian, ke dalam kelompok etnik ini dimasukkan pula orang Eropa yang datang dan menetap cukup lama di tanah Indonesia atau yang lahir di Indonesia, karena di antara kalangan kaum keturunan campuran sendiri terdapat rentang fenotipe yang luas, sehingga faktor penampilan tidak bisa dijadikan satu-satunya pembatas untuk kelompok etnik ini. Kelompok berdarah campuran adalah mereka yang biasa dikenal sebagai orang Indo atau Mesties, sedangkan mereka yang "berdarah murni" Eropa dikenal sebagai totok, blijvers atau kreol. Istilah 'orang Indo' dalam penggunaan bahasa Indonesia masa kini mengalami pergeseran arti dan dipakai secara taksa (ambigu). Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut semua orang Indonesia dimana sebagai kependekan dari 'orang Indonesia' sekaligus juga untuk menyebut peranakan campuran orang Indonesia dengan bangsa lain, tanpa melihat latar belakang asal usul non-Indonesianya, yang tidak harus Eropa.
Konteks Sejarah
Sejak masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950), mulai terjadi migrasi besar-besaran orang Eropa-Indonesia (Indo) ke luar Indonesia. Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropa maupun Asia. Di Eropa, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan ‘Arya’ asli (Eropa asli). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepang memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropa (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris (salah satu negara Eropa yang tidak diduduki tentara Nazi), Australia (mengabaikan kebijakan ras: White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada karena mereka dapat diterima sebagai pelarian perang. Pasca kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965) perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang mencoba menguasai Indonesia kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropa (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo yang kebanyakan ingin kembali ke Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan Inggris di Malaysia dan Singapura. Pada periode 1945-1946, terjadi gelombang kekerasan kepada orang Indo oleh kelompok pemuda yang dikenal sebagai periode Bersiap. Diperkirakan sekitar 20.000 orang Indo tewas dalam kejadian ini, dan menurut beberapa sejarawan, dapat dikatakan sebagai genosida.
Bersiap: nama yang diberikan untuk periode di akhir pendudukan Jepang ketika teror dan kekerasan berkuasa di jalanan dan desa di Jawa dan pemuda menyerang dan membunuh orang-orang berdarah Belanda dan Indo serta anggota elit Indonesia yang telah memainkan peran dalam pemerintahan kolonial, juga orang Cina menjadi sasaran. Nama periode itu diambil dari jeritan persiapan (bersiap-siap!) yang diteriakan oleh kelompok pemuda Indonesia ketika menyerang.
Pada 5 Desember 1957, tepat di hari pesta Sinterklaas, Sukarno mengultimatum semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Sukarno juga melarang siapa pun di hari itu mengadakan pesta Sinterklaas yang dianggap budaya Belanda. Pelarangan tersebut dikenang sebagai Sinterklaas Hitam. Pemerintah akhirnya mengambil langkah nasionalisasi. Pada 31 Desember 1958 terbit UU No 86/1958, yang berlaku surut mulai tanggal 3 Desember 1957. Setelah itu, sentimen anti-Belanda menjalar di mana-mana. Pemulangan orang-orang Belanda dimulai pada 10 Desember 1957 menggunakan Garuda Indonesia Airways dan maskapai asing. Pemulangan juga dilakukan melalui jalur laut. Pemulangan ini bisa dikatakan klimaks, sejak repatriasi pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 dan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Menurut Firman Lubis, sensus penduduk pada 1940 mendata 120.000 orang Belanda di Indonesia; mayoritas Indo, sisanya Belanda totok. Pada permulaan 1950-an, jumlahnya tinggal 80.000, sekira 50.000 menetap di Jakarta. Jumlah ini menurun karena pemulangan pada 1957-1958, menyisakan 40.000-50.000 di seluruh Indonesia. Mereka yang tidak pulang dan memilih jadi warga negara Indonesia bergabung dalam Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia (GIKI) yang didirikan pada 1951, sebagai perubahan dari Indo Europeesch Verbond (IEV). GIKI dibubarkan pada 14 Mei 1961.
Konteks Sosial Ekonomi
Berbagai usaha dan kebijakan dilakukan pemerintah Indonesia untuk memapankan kondisi politik dan ekonomi dalam situasi transisi. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945 masih banyak mendapat tantangan dari pemerintah kolonial Belanda yang berupaya ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia, sehingga Indonesia kembali lagi harus berjuang dalam periode revolusi fisik (1945-1949) mempertahankan kedaulatannya. Maka pada akhir tahun 1957, pemerintahan Sukarno mengeluarkan kebijakan Nasionalisasi, yang mengakibatkan pengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Setelah proklamasi kemerdekaan dan nasionalisasi besar-besaran, orang-orang Indonesia mengambil berbagai aset milik orang asing, terutama Belanda. Sukarno yang tak terima dengan keputusan PBB pada 29 November 1957 bahwa Irian Barat berada di bawah kekuasaan Belanda. Maka pada Desember 1957, ketika terjadi nasionalisasi dan pengusiran orang-orang Belanda secara besar-besaran. Pengambil alihan properti tersebut (pada 1957) merupakan jilid kedua. Sebelumnya, pasca proklamasi kemerdekaan, hal yang sama terjadi dari percetakan hingga hotel. Langkah nasionalisasi pertama pemerintah Indonesia ia lah ketika dengan menasionalisasikan De Javasche Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia (BI) tahun 1953. Kemudian juga pada bidang perkebunan, perdagangan, perinsdustrian dan tambang, listrik dan gas, transportasi, konstruksi, asuransi serta farmasi.
Focus On
Maria Lamslag & Djoe Franz: Jakarta at the 50’s
Maria Lamslag adalah seorang pekerja di bidang komunikasi dan penelitian yang berfokus pada lintas budaya. Bersama temannya Jody Franz, mereka berdua membuat proyek “Jakarta at the 50’s” yang mempunyai output sebuah film dokumenter dan old photos galery dalam platform digital. Pembuatan film dokumenter ini dibuat sejak 2017 dan diestimasikan untuk selesai pada 2019. Bercerita tentang seorang fotografer Indo-Europeaan, Dick Franz, yang pernah menjadi fotografer Sukarno pada masa kolonial, memutuskan untuk pindah ke Belanda demi keamanan keluarganya. 60 tahun berlalu dari kepindahannya, ia didorong oleh cucunya (Jody Franz), untuk mengolah kembali foto-foto negatif yang dengan saksama ia sembunyikan di lotengnya sejak dia tiba di Belanda pada akhir 1950-an. Foto-foto tersebut menunjukan gambaran yang tak pernah terlihat sebelumnya di Jakarta pada tahun 50-an dan mungkin juga akan mengungkapkan beberapa rahasia lainnya. Melalui arsip-arsip yang masih tersimpan oleh Dick Franz, Maria dan Jody kembali ke Indonesia dengan membawa foto-foto cetak tersebut dan menelusurinya, mencari tahu bagaimana kondisi lingkungan atau bangunan yang ada di foto tersebut dengan kenyataan yang ada di masa kini. Ini semua akan terangkum dalam film dokumenternya. Hasil-hasil karya foto Dick Franz yang sudah didigitalisasi oleh Jody diunggah dalam sebuah akun di Instagram dengan nama @jakartainthe50s dan sebuah blog dengan pelantar Tumblr (www.jakartainthe50s-blog.tumblr.com)
“History is complex. This date, 63 years ago meant the of World War II in Indonesia and in a way the beginning of Indonesia’s independence after centuries of colonial suppression. It sadly took another war for this independence to be recognized by the Dutch. My grandparents and so many others as mixed race were caught in the middle during these wars. Fought for their country (Indonesia) and their people but also against their ‘other’ country and ‘other’ own people. Involuntarily moved out the land if their ancestors to the Netherlands, where they fought a new ‘war’ to deal with traumas if exeptional violence and the Nee (Netherland) country to be accepted with their brown skins. Today I wore Melati flower as symbol to commemorate all the (in)direct victims of these wars and send love to all the lives marked by the traumas in their and their family’s lives, on both the Indonesian and Dutch ground. No matter what ‘side’ of history. Is there such a thing as right and wrong? History is complex. Love shoud’t.” - Maria Lamslag

Michiel Sekan: Jiwajiwa Records
Jiwa Jiwa adalah platform untuk segala musik kontemporer dari Indonesia yang didirikan oleh Michiel Sekan. Dalam waktu dekat Jiwa Jiwa akan menjadi label rekaman yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan musik-musik Indonesia yang tidak terlalu popular dalam genre funk, soul, disco dan boogie. Adanya Jiwa Jiwa sendiri berawal karena Michiel ingin mengenal musik asli Indonesia. Akar keluarga Michiel yang juga berasal dari Indonesia ini memberinya kesempatan untuk berhubungan dengan dua hal yang sangat penting baginya, musik dan keluarga. Ketika bertandang ke Indonesia Michiel selalu menyambangi para penjual piringan hitam lawas yang kemudian musik-musik tersebut ia digitalisasi dan me-remix-nya untuk kemudian dikompilasikan dan disiarkan melalui Red Light Radio Amsterdam dan plaftorm Soundcloud. Men-diskon-kan kembali lagu-lagu Indonesia tahun 70-90 dalam sebuah pesta lantai dansa membuat penikmatnya merasa acuh dengan stigma musik lawas tidaklah mengasyikan. Rekaman-rekaman lama ini memiliki nilai baru dalam apresiasinya di masa kini, bahkan album atau lagu yang tidak hits bisa menjadi anthem. Yang ingin dilakukan Jiwa Jiwa adalah membuat 'anak sekarang' dapat merasakan relasi dengan sesuatu yang sudah lebih tua, dimana muncul saat mereka belum lahir. Namun disatu sisi ini bukan tentang nostalgia karena lagu-lagu ini relatif baru didengar oleh sebagian pemirsanya. Unsur melankolia dari suasana melodi suara yang ditampilkan membuat suasana nostalgia tentang indonesia, karena suara adalah suatu itu hal yang paling powerful, yang paling melekat secara dalam alam bawah sadar.
“Opa Charles “Tjalie” Sekan, the man who came to this country leaving everything he had behind for a safer and better future for his family. I’m forever grateful and in your debt for what you have given me. I wouldn’t even be here if you didn’t take this huge step in life. I would not have this connection with Indonesia and there would be no Jiwa Jiwa. It’s hard for me to explain how deep our bond and relationship goes, how much he has taught me and how much love he has given me and our whole family.” - Michiel Sekan
Indosbelike
Sebuah platform media sosial baik Instagram maupun Facebook, yang dimana para warga diaspora atau Indo-Belanda berkumpul dan bersilaturahmi dalam jagad maya. Di akun yang kerap berbagi meme tentang guyonan 'bagaimana rasanya menjadi separuh asia dan eropa' ini sangat terlihat bagaimana mereka merangkul akar budaya Indonesia mereka yang diproyeksikan dalam gambar-gambar tersebut melalui kontras budaya antara barat dan timur namun mereka memiliki dua identitas tersebut. Selain itu mereka juga membuat merchandise-merchandise seperti hoodie yang mempunyai aksen batik sebagai representasi simbol ke-Indonesiaan mereka.
Selamat datang bij de grootste familie van het web en daarbuiten! Wees onderdeel van de movement en draag bij aan ons Indisch erfgoed. Kita semua bersaudara.
Pasar Malam Azie
Pasar malam paling khas di Belanda yang diselenggarakan selama 3 hari dan penuh dengan atmosfer Asia. Mulai dari stand pijat, makanan ala negeri tropis, live music dan pertunjukan tari dari Indonesia, Tahiti dan Hawaii
Selamat Datang ofwel van harte welkom bij Pasar Malam Asia! Breng een avontuurlijk bezoek aan Pasar Malam Asia, het mooiste én meest onderscheidende Oosterse festival in Nederland voor een gezellige dag uit. Iedereen is van harte welkom op dit kleurrijke 3-daagse evenement vol beleving. Sfeervol shoppen over de grote Aziatische markt, met unieke artikelen uit alle werelddelen inclusief medium- en massagestands. Heerlijke geuren nodigen uit om te smullen bij de vele exotische food-stands, van Oriëntaalse maaltijden en snacks tot aan tropische drankjes, ijsjes en vruchten. Geniet van swingende livemuziek en wervelende dansshows uit o.a. Indonesië, Tahiti en Hawaii. Bewonder de mooiste decoraties en sta oog in oog met het imposante tempeldecor, waar de twinkelende sterrenhemel en flitsende showbelichting je betoveren. Proef, geniet en beleef de culturele rijkdom bij Pasar Malam Asia! Jij komt toch ook..?

_______________________________________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka:
Agnew, Vijay. (2005). Diaspora, Memory and Identity: A Search for Home. University of Toronto Press
Alfonso, Carolin; Kokot, Waltraud; Tölölyan, Khachig. (2004). Diaspora, Identity and Religion: New Directions in Theory and Research. USA & CA: Routledge
Arana, Jessica Maria Michel. (2014). Revealing Borderland Identities: Diaspora, Memory, Home, and Art. California State University, Northridge
Beaulieu-Boon, Hendrika H. (2009). So Far Away From Home : Engaging The Silenced Colonial : The Netherlands-Indies diaspora in North America. Leiden University
Elliot, Cheryl. (2007). Negotiating Identity in Diaspora: Memory and Belonging in Dionne Brand's Land to Light On and Austin Clarke's The Origin of Waves. The University of Manitoba
Hall, Stuart. (1994). Cultural Identity and Diaspora from Patrick Williams & Laura Chrisman. London: Harvester Wheatsheaf
Kaya, Ayhan. (1997). Constructing Diasporas: Turkish Hip-Hop Youth in Berlin. University of Warwick
Rushdie, Salman. (1981). Imaginary Homelands. London: Penguin Books
Taylor, Edward Burnett. 1974. Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. Gordian Press
Tettey, Wisdom J.& Puplampu, Korbla P. (2005). The African Diaspora in Canada: Negotiating Identity and Belonging. University of Calgary Press
Wittermans, Tamme & Gist, Noel P. (1961). Urbanization and Integration of the Ambonese in the Netherlands. Retrieved from https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1533-8525.1961.tb01 90.x
https://historia.id/modern/articles/repatriasi-harga-mati-Drml6 https://historia.id/modern/articles/meniti-jalan-nasionalisasi-vQXGB https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Indo
https://historia.id/modern/articles/inilah-bidang-bidang-usaha-yang-dinasionalisasi-6joz1
https://fashionindustrybroadcast.com/2016/03/09/20-year-trend-cycle-next/
https://www.researchgate.net/publication/328609174_DIASPORA_DAN_IDENTITAS_KOMUNITAS_EKSIL_ASAL_INDONESIA_DI_BELANDA
https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20161123/Tiga-Musketeer-Belanda-Pro-Indonesia/
https://www.instagram.com/sekan/
https://www.jiwajiwa.com
https://www.instagram.com/maria.rey.lamslag/
https://www.instagram.com/jakartainthe50s/
https://www.instagram.com/indosbelike/
https://www.pasarmalamasia.nl